Entah apa yang merasuki mahasiswa-mahasiswa itu; mereka melakukan sesuatu yang semestinya tidak dilakukan oleh kaum terdidik dan terpelajar. Apa yang mereka lakukan begitu terbelakang dan memalukan, untuk tidak menyebutnya biadab.
Dalam video yang beredar, kelompok besar mahasiswa menerobos barikade di basemen dan berlarian dengan beringas. Hal itu dilakukan saat sejumlah pengungsi sedang menggelar salat zuhur.
Keadilah yang oleh Pram diidentikkan dengan kaum terpelajar tidak terwujud dalam tindakan— mungkin sejak dalam pikiran. Bahkan terlihat sejumlah mahasiswa menarik paksa dan melakukan tindakan kekerasan lainnya seperti melempar botol air mineral ke arah wanita dan anak-anak hingga menendang barang-barang di sekitar. Etnis Rohingya yang dikepung mahasiswa hanya terdiam dan menangis ketakutan. Sebagian bahkan terlihat meminta ampun.
Tidak ada upaya melihat manusia sebagai manusia seutuhnya di sana. Tindakan itu seperti menampakkan kemunduran bagi peradaban, sangat bertolak belakang dengan kearifan dan nilai-nilai luhur yang selama ini dipegang kuat masyarakat Aceh.
Ada upaya melupakan sejarah yang terjadi pada kejadian kemarin. Dahulu, kala kita terkoyak-koyak oleh konflik dan bencana maha dahsyat, seluruh dunia datang menolong kita, sebuah daerah yang miskin dan terbelakang. Kini, saat segelintir kita sudah lebih baik, kita menolak menolong orang-orang, terlebih lagi mereka muslim, hilang rasa persaudaraan kita tercerabut oleh berbagai misinformasi dan disinformasi.
Banyak argumen bahwa sikap penolakan itu muncul karena sikap orang Rohingya yang “mencolok” setelah dibantu. Meskipun beberapa perilaku mereka itu melanggar norma-norma. Kiranya dalam etnis dan komunitas mana pun pasti ada orang-orang yang melanggar aturan. Sebutkan satu etnis yang terlepas dari kesalahan? Tentu tidak ada.
Tidak adil jika rasanya kesalahan individu disalahartikan sebagai kesalahan etnis secara umum. Dahulu, orang Aceh sering disangka pemberontak atau agen ganja oleh orang luar Aceh, padahal hanya sebagian kecil yang melakukannya. Apalagi, orang Aceh juga pernah merasakan menjadi pencari suaka ke negara lain di zaman perang. Masih lekat dalam sejarah bagaimana misi diplomasi kita meminta pertolongan dahulu gagal, ditolak oleh Amerika dan Italia.
Hari ini, mereka menduduki posisi kita dahulu, dan kita mampu untuk menolong mereka. Telah hilangkah rasa peduli akan kemanusiaan itu di hati orang-orang Aceh?
Memanusiakan Manusia
Ada situasi yang amat sulit dihadapi oleh orang-orang Rohingya sehingga mereka harus mengungsi, berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Dan kehadiran Rohingya ke Aceh disebabkan karena jalur maritim Aceh yang terhubung ke lautan Andaman. Kondisi ini memungkinkan perahu yang ditumpangi pengungsi Rohingya kerap terdampar ke Aceh, atau, katakanlah bila memang sengaja dihantarkan ke Aceh.
Penting bagi kita untuk memandang mereka sebagai manusia seutuhnya, mengakui hak-hak dan martabat yang setara. Memberikan bantuan dengan baik kepada mereka tidak hanya merupakan tindakan kemanusiaan yang mendesak, tetapi juga merupakan bagian dari perintah agama yang mengajarkan kepedulian terhadap sesama.
Perlu dicatat bahwa Aceh hanya menjadi persinggahan sementara bagi mereka, bukan tempat tinggal permanen. Oleh karena itu, mengusahakan upaya untuk memberikan dukungan yang berkelanjutan, seperti fasilitas pendidikan dan pelatihan keterampilan, dapat membantu mereka membangun kembali kehidupan mereka dengan mandiri dan bermartabat.
Sementara itu, segala upaya untuk memperlakukan mereka dengan kurang ajar, diskriminatif, atau mempersekusi mereka adalah langkah-langkah yang tidak bermoral dan bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Amanat Undang-Undang
Sebagai suatu bangsa yang pernah begitu lama terjebak dalam penindasan dan ketidakpastian hukum, semestinya adalah panggilan nurani bagi kita untuk menolong orang-orang yang memiliki nasib yang sama. Terlebih, Rohingya merupakan satu di antara beberapa entitas lagi yang masih terus tertindas, di era modern di mana HAM digaungkan ke angkasa raya agar dilihat oleh orang-orang dan dibela.
Bukan tanpa alasan, UUD 1945 menyebut tentang komitmen bangsa dalam melawan penjajahan dunia dan menjaga perdamaian dunia. Salah satunya menangani korban-korban konflik besar, terlebih pengungsi Rohingnya kita tak sebanyak pengungsi Vietnam dahulu yang berjumlah ratusan ribu.
Pertolongan kepada mereka adalah amanah konstitusi. Ketika konstitusi berbicara ikut menciptakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, ini adalah realisasi atau perwujudan pengamalan dari amanah konstitusi.
Berdasarkan pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 itu, Indonesia semestinya dapat membantu etnis Rohingya yang tengah mengalami kekerasan, atau minimal, jika tak dapat membantu, tetaplah perlakukan mereka secara manusiawi dengan tidak menghina dan ”mengagresi” mereka.
Penulis: Misbahul
Editor: Nauval Pally Taran