SAHIH.CO, BANDA ACEH – Belasan hari melintasi samudera luas dengan kapal kayu sederhana dan bekal seadanya adalah kesuraman, terlebih bagi anak-anak kecil dan wanita-wanita, dua entitas paling rapuh dalam setiap konflik yang terjadi. Namun, kesulitan itu haruslah ditempuh demi menyelamatkan hidup dari ancaman dan ketidakpastian di Kamp Pengungsian Cox’s Bazar, yang dalam sembilan bulan terakhir, di sana setidaknya terjadi 63 serangan yang menewaskan 77 orang di Kamp Pengungsian tersebut, termasuk di antaranya seorang relawan.
Ini bukan hanya tentang jumlah pengungsi dalam angka-angka, bukan juga tentang pembahasan berat geopolitik, tapi tentang manusia-manusia dengan kisah hidup yang begitu rumit dan sulit; terlindas oleh kekejaman genosida di tanah kelahiran dan hidup memprihatinkan di kamp-kamp pengungsian. Ini adalah tentang perjuangan manusia untuk tetap hidup.
Kesuraman Kamp Pengungsian Cox’s Bazar
Orang-orang berlarian dengan terburu-buru, ada juga yang tertatih-tatih, tanpa alas kaki dan dengan bekal seadanya. Di antara mereka, ada yang sembari menggendong anak kecil dan menggandeng wanita. Orang-orang ringkih ini harus berjalan selama 12 hari, melewati dua gunung dan menembus hutan lebat. Tujuan mereka adalah Bangladesh, mereka berupaya menyelamatkan diri dari gerakan pembantaian yang masif dan terstrukrur oleh Militer Myanmar.
Cox’z Bazar tepatnya, nama tempat yang mereka tuju, sebuah daratan yang berbatasan langsung dengan Myanmar, berada di tepi Teluk Bengal. Terdapat dua buah tempat pengungsian besar di sana, Kutupalong dan Nayaparayang, keduanya sudah ada berdekade lamanya, sebuah tempat berteduh dari derasnya hujan peluru yang mereka rasakan di Myanmar.
Akan tetapi, Kamp Pengungsian itu ternyata bukanlah tempat berlindung yang aman. Salman Akhter, seorang Bangladesh yang sempat bekerja di Kamp tersebut, dalam wawancaranya dengan sahih.co menyampaikan bahwa tempat tersebut tidak memadai untuk mereka (Pengungsi). sarana pendidikan dan fasilitas kesehatan sangat terbatas. Kamp pengungsi yang padat penduduk ini berisi pria, wanita, dan anak-anak yang sebagian besar tidak sehat, tidak berpendidikan, menganggur, dan sebagainya.”
Hal tersebut diperparah dengan keadaan Bangladesh sendiri yang tidak memiliki cukup sumber daya untuk menangani banyaknya pengungsi, “Bangladesh sebagai negara berkembang menghadapi kesulitan besar untuk memberikan fasilitas kepada mereka. Kekurangan luas tanah, krisis keuangan, dan politik internasional membuat krisis pengungsi Rohingya menjadi kompleks,” Salman menjelaskan.
Dengan situasi yang begitu rumit dan sulit serta hidup yang jauh dari kata layak, menyebabkan sebagian orang melakukan segala hal untuk tetap dapat bertahan hidup. Itu menyebabkan kriminalitas melonjak. “Mereka sering terlibat dalam kegiatan ilegal seperti penyelundupan narkoba dari Myanmar, pembunuhan berencana, penculikan, prostitusi, dan banyak lagi untuk mencari nafkah,” tulis keterangan tersebut.
Hal lain yang menjadi perhatian adalah kasus human trafficking yang tinggi di antara pengungsi, hal ini tidak hanya terjadi di Bangladesh, tetapi terjadi juga di Malaysia, Thailand, dan India. Dalam sebuah investigasi yang dilakukan AFP pada tahun 2020, terungkap bahwa jaringan penyelundupan manusia melibatkan orang di kamp-kamp pengungsi Rohingya di Bangladesh hingga sindikat lain di Myanmar, Indonesia, Thailand, dan Malaysia.
Tentu para pelaku tidak bekerja sendiri, dalam keterangan tambahan yang kami terima dari Salman disebutkan, ”Ada orang lokal yang ikut serta dalam perdagangan manusia Rohingya ini.”
Dalam laporan Reuters Juni lalu, disebutkan bahwa pengadilan malaysia menetapkan 4 tersangka asal Thailand atas kasus perdagangan manusia, hal tersebut dikuatkan dengan penemuan kuburan massal dan kamp dugaan perdagangan manusia lintas negara pada 2015 lalu.
Laporan tersebut juga menyebut hutan-hutan yang lebat di selatan Thailand dan utara Malaysia telah menjadi titik transit utama bagi penyelundupan manusia.
Hal tersebut adalah salah satu masalah utama yang perlu ditangani. Sebagaimana disampaikan oleh Datuk Ahmad Azam, Penyidik Khusus Hak Asasi Manusia dari Organisasi Kerjasama Islam (OKI), dalam wawancaranya dengan sahih.co.
”Juga yang perlu ditangani secara tuntas ialah sindiket Pemerdagangan manusia yang meraih keuntungan atas penderitaan bangsa Rohingya,” tuturnya.
Beliau juga menekankan posisi Etnis Rohingya sebagai korban dari rasisme Junta militer, yang mana mereka adalah masalah utama dari segala kejadian yang terkait dengan Rohingya.
Datuk Ahmad Azam menambahkan, ”Perlu di ingat pengungsi Rohingya adalah mangsa keadaan dasar Rasis Junta Tentera Myanmar. Junta inilah punca sebenar masalah yang mana negara ASEAN masih belum mampu untuk menangganinya secara tuntas hingga kini.”
Berbagai kejadian di kamp pengungsian di atas membuat orang-orang Rohingya dipaksa untuk keluar dari Kamp untuk mencari peluang hidup yang lebih baik. Mungkin tidak ada orang tua yang akan menempatkan anaknya di perahu kayu yang diombang-ambingkan seenaknya oleh ombak samudera, kecuali ia yakin bahwa lautan lebih aman daripada daratan.
Menolong Pengungsi dan Mengedukasi Masyarakat
“Mereka itu pararelawan hebat”, begitu Bambang menyebut mereka, yang telah menjelma menjadi bagian tak terpisahkan dari upaya penanganan pengungsi Rohingya. Sebagai staf Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM), Bambang memberikan apresiasi khusus untuk teman-teman sukarelawan PMI Kota Lhokseumawe, yang telah berperan penting dalam menangani krisis pengungsi Rohingya pada tahun 2020.
Namun, di tengah pujian tersebut, ia juga mengekspresikan keprihatinannya terhadap dampak disinformasi terhadap sikap sebagian masyarakat saat ini. Terpengaruh oleh informasi yang keliru, sebagian orang terlihat kehilangan etika dalam menyikapi situasi. Ironisnya, beberapa narasi menolak pengungsi dengan dalih bahwa negara tidak meratifikasi konvensi pengungsi. Padahal, Bambang menekankan bahwa tidak meratifikasi konvensi bukanlah penghalang untuk membantu sesama manusia dalam situasi darurat.
“Dalam konteks kegawatdaruratan, kita tidak perlu menjadi penandatangan konvensi pengungsi untuk memberikan bantuan,” tegas Bambang.
Tak kalah penting, menurut Bambang, adalah penanganan rasa trauma yang dialami oleh pengungsi akibat kekerasan yang mereka saksikan. Berdasarkan laporan Pemerintah USA yang berjudul Genocide Crime Against Humanity And Ethnic Cleansing Of Rohingya In Burma, sebagian besar pengungsi Rohingya menjadi saksi pembunuhan dan pembakaran desa mereka, bahkan ada yang menyaksikan mutilasi anggota keluarganya. Untuk itu, upaya pemulihan trauma menjadi bagian esensial dari pendekatan kemanusiaan.
Bambang juga bercerita bagaimana Masyarakat Aceh dahulu juga mengalami trauma pasca Tsunami, sehingga ada pengungsi Tsunami yang membuang pakaian yang diberikan, saat itu Bambang datang ke Aceh dengan bendera Save The Children.
”Nah di Lamgugop itu juga kita menyediakan bantuan, saya dulu di Save The Children Bang, saya ingat waktu itu bantuan pakaian kami dibuang juga bang, tapi karena saya paham trauma pascabencana, jadi saya tidak tersinggung,” jelasnya.
Ia juga menegaskan bahwa Rohingya tidak akan menetap selamanya di Indonesia, ketika masa emergency response telah berakhir, mereka akan di bawa ke rumah transisi yang dikelola oleh IOM dan UNHCR. Selama di sana, mereka menunggu dicarikan negara ketiga yang akan menjadi tempat mereka hidup sebagai bagian dari masyarakat.
“Untuk mengatasi proses trauma, diperlukan pendekatan psikososial dengan dukungan dari program-program bantuan. Karena pada tahap penanganan kegawatdaruratan, fokus kita terbatas pada layer tersebut. Namun, pada tahap transisi, para pengungsi akan dipindahkan ke community house yang disediakan oleh IOM. Mereka akan ditempatkan dalam hotel atau rumah sewaan, mirip dengan yang telah dilakukan di Medan, Makassar, dan Batam, tahap transisi itu sambil mereka untuk menunggu negara ketiga.”
Lebih lanjut, Bambang menyoroti pentingnya sosialisasi tentang hukum dan budaya Indonesia kepada pengungsi. Bersama LSM, TNI, dan tokoh masyarakat, mereka berkolaborasi dalam kegiatan sosialisasi untuk membantu pengungsi memahami norma dan nilai lokal.
Selain itu, pengedukasian masyarakat tentang pengungsi menjadi kunci untuk mengatasi penolakan. Dalam upaya mencapai tujuan ini, UNHCR telah mengalokasikan anggaran sebesar 3,7 miliar rupiah, dengan fokus meningkatkan keterlibatan masyarakat tuan rumah demi mencapai kohesi sosial dan merespons kebutuhan dalam komunitas tuan rumah. Dengan upaya bersama, diharapkan masyarakat dapat hidup berdampingan damai dengan pengungsi, menghapuskan batas-batas pemisah, dan mewujudkan kemanusiaan yang inklusif.
Menjawab Tuduhan Negatif terhadap Pengungsi
Sejumlah tuduhan tersebar menghantam Etnis Rohingya dan berkembang menjadi fobia. Dua hal yang sering mencuat di media sosial adalah tuduhan bahwa mereka meminta tanah dan melakukan tindakan kriminal di Malaysia.
Dalam sebuah pesan whatsapp yang disampaikan redaktur sahih.co, Perwakilan Khusus Menteri Luar Malaysia, Dr. Abdul Razak Ahmad, menyampaikan bahwa itu adalah berita bohong.
”Tidak ada Rohingya minta tanah, semua itu bohong,” tegas beliau.
Ia juga menjelaskan bahwa Malaysia mempunyai ratusan ribu pelarian Rohingya dan mereka diberikan perlindungan serta kerajaan membenarkan mereka bekerja secara tidak formal.
Dalam wawancara lain bersama Guru Besar Hubungan Internasional dari UnisZa, ketika kami menanyakan mengenai orang-orang Rohingya yang melakukan tindakan kriminal, beliau mengatakan tindakan kriminal itu milik semua bangsa, bukan milik orang Rohingya saja.
”Orang Indonesia pun lagi banyak melakukan case-case jenayah (kriminal) di Malaysia”, tutur beliau.
Narasi lainnya yang lebih parah juga berkembang; ada pihak yang berusaha menyamakan pengungsi Rohingya dengan Israel: Rohingya yang awalnya datang mengungsi pada akhirnya justru akan menjajah Indonesia.
Dalam sebuah laporan, UNHCR menyebutkan bahwa jumlah pengungsi terbanyak di Indonesia adalah warga Afghanistan yakni sebanyak 55%, adapun etnis Rohingya hanyalah 6% saja.
Selain itu, dari seluruh pengungsi yang terdata, bahkan ada yang sudah menetap hampir sedekade lebih, tidak seorang pun yang memiliki rumah pribadi. Dengan status pengungsi yang mereka miliki, hampir mustahil mereka mendapatkan hal-hal formal sebagaimana dimiliki oleh warga negara Indonesia.
Narasi lain yang juga paling sering muncul adalah kepedulian negara kepada pengungsi mengalahkan kepedulian negara kepada warga negara, sebagian juga mendakwa kalau negara menggunakan anggaran negara untuk pengungsi dalam keadaan cukup banyak warga negara yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Padahal, negara tidak menganggarkan apa pun untuk pengungsi, selain hanya menyediakan tanah tempat mereka berpijak dan mengizinkan langit untuk mereka bernaung.
“Ini kan nggak ada (anggarannya) di APBN, nggak ada (anggaran) di pemda, dia masuk ke daerah-daerah pemda nggak punya anggaran,“ kata Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud MD, pada Kamis, 14 Desember 2021 kepada awak media.
Semua anggaran pengungsi itu diperoleh dari donor Internasional yang disalurkan oleh UNHCR dan IOM. Dalam draf anggaran yang tersebar, UNHCR dan IOM menganggarkan total 84 miliar rupiah untuk emergency response selama 6 bulan kedepan.
Termasuk shelter pengungsian yang kini ditempati oleh masyarakat, shelter itu dahulu dibangun dengan anggaran donor untuk pengungsi, sehingga sudah seharusnya difungsikan Kembali sebagaimana tujuannya.
Pewarta: Misbahul
Editor: Nauval Pally Taran