Pendahuluan
Pertarungan ideologi sedang berlangsung di Aceh, para pemimpin “muslim tradisional” yang berbasis di sekolah berasrama (boarding school) yang dikenal dengan dayah mencoba meningkatkan pengaruh politik mereka melalui kebijakan publik dan merebut kedudukan dan sumber daya penting dari kelompok muslim modernis, termasuk salafi.
Kemunculan gerakan anti-salafi di Aceh dipicu oleh kegelisahan para “tradisionalis” terhadap pertumbuhan salafi yang nyata setelah Tsunami 2004. Mereka secara umum tidak menerima para penceramah salafi menyebut praktik-praktik tradisional, seperti perayaan hari lahir Nabi Muhammad (maulid) dan berdoa di kuburan sebagai perbuatan menyimpang (bidah) yang dilarang oleh syariat Islam.
Selain itu, gerakan anti-salafi juga didorong oleh motif politik dan motif ekonomi. Para ulama tradisional (yang memiliki banyak massa di wilayah pedesaan Aceh) merasa kurang terwakili di pemerintahan dan birokrasi keagamaan yang secara historis didominasi oleh muslim modernis yang lebih teredukasi.
Sejak tahun 1990, mereka telah berusaha untuk menggunakan ruang demokrasi pasca-Soeharto untuk memperluas pengaruh mereka, dan mereka berhasil. Medan pertempuran utamanya adalah masjid-masjid, terutama Masjid Raya Baiturrahman di Banda Aceh. Para tradisionalis, yang menyebut diri mereka sebagai Ahlus Sunnah wal Jamaah (Aswaja), berusaha untuk mengganti para imam dan mengubah praktik-praktik yang ada di semua masjid agar sesuai dengan mazhab Syafi’i.
Gerakan Aswaja tidak membeda-bedakan antara salafi dan Muhammadiyah, yang keduanya mencela sebagian praktik tradisional sebagai bentuk kesyirikan. Para pengikut Aswaja telah membalas dengan menduduki masjid-masjid muslim modernis dan menyerang lembaga pendidikan salafi.
Upaya ulama dayah untuk menegaskan pengaruh mereka adalah babak terakhir dari perebutan kekuasaan antara tradisionalis dan modernis/salafi di Aceh yang telah berlangsung lebih dari 100 tahun. Persaingan saat ini dimulai tahun 1920-an ketika orang Aceh yang belajar di sekolah modernis/salafi di Padang, Sumatra, dan Timur Tengah kembali dan menantang dominasi tradisionalis dalam pendidikan dan politik Islam.
Pada tahun 1950-an, para tradisionalis membantu Pemerintah Indonesia untuk menghancurkan pemberontakan Darul Islam yang dipimpin kelompok modernis, namun kemudian malah terpinggirkan pada masa Orde Baru Presiden Soeharto (1966–1998). Para tradisionalis mulai bangkit kembali ketika Soeharto mundur dan pasukan militer di Aceh ditarik. Pada 1999, para tradisionalis mulai bergabung dengan gerakan pembebasn (Gerakan Aceh Merdeka/GAM), lalu mengambil posisi strategis di perkumpulan ulama dengan tujuan untuk menjadikan sunni tradisional sebagai satu-satunya Islam yang diterima di Aceh.
Salafi, Modernis, dan Tradisionalis
Salafi, sering digelari oleh musuhnya sebagai wahabi, dan Islam modernis itu berbeda meskipun ada persamaan perkataan keduanya tentang perlunya kembali kepada Al-Qur’an dan tradisi Nabi (hadits) sebagai sumber hukum utama dan meniadakan takhayul dan bidah.
Salafi, secara umum didefinisikan sebagai pergerakan untuk kembali ke ajaran murni agama Islam yang diajarkan oleh Nabi dan dua generasi setelah beliau (tabi’in dan tabi’ al-tabi’in).
Islam modernis, yang di Indonesia secara besar diwakili oleh Muhammadiyah, didirikan pada 1912—terinspirasi oleh seorang reformis Mesir, tokoh gerakan kebangkitan pada abad ke-19, Muhammad Abduh.
Sementara salafi ingin “kemurnian” Islam yang ada pada abad ketujuh. Modernis mencoba membuat Islam lebih sesuai dengan zaman sekarang. Bagi modernis, mengadopsi ilmu pengetahuan juga diperlukan untuk menghilangkan tradisi tidak islami dan penyakit sosial yang meyebabkan keterbelakangan umat Islam.
Adapun Islam tradisional, merujuk kepada Islam yang diajarkan oleh cendekiawan muslim dan ahli hukum Islam tertentu, terutama mazhab-mazhab hukum abad pertengahan yang populer sebagai lawan dari pembacaan literal kitab suci yang dilkukan oleh salafi atau penalaran independen (ijtihad) seperti yang dilakukan oleh modernis. Nahdlatul Ulama (NU), yang didirikan pada 1926, adalah organisasi muslim tradisional yang terbesar di Indonesia.
Secara teologi, perselisihan antara tradisionalis dan modernis terjadi karena interpretasi dari tiga konsep Islam, keesaan Tuhan (tauhid), inovasi agama yang tidak beralasan (bidah), dan mengikut para ulama (taklid).
Kebanyakan salafi dan anggota Muhammadiyah mengajarkan tauhid (yang terinci) dalam tiga komponen: Tuhan sebagai pencipta alam semesta (tauhid rububiyah), Tuhan sebagai satu-satunya yang berhak disembah (tauhid uluhiyah), dan Tuhan memiliki nama-nama dan sifat-sifat (tauhid asma wa al-sifat). Ini dikenal sebagai ajaran “tauhid tiga”.
Adapun tradisionalis mengikuti ajaran “tauhid lima puluh” yang diajarkan oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi, yang menekankan pada sifat-sifat Tuhan dan Nabi. Salafi menerapkan pemahaman tentang tauhid dengan cukup ketat: apa pun yang jauh dari interpretasi mereka dianggap sebagai inovasi beragama yang tidak beralasan, termasuk banyak praktik, seperti perayaan maulid yang muncul setelah Nabi wafat.
Dalam hal fikih, khususnya yang berkaitan dengan ritual kehidupan sehari-hari, tradisionalis Indonesia hanya menganut aliran Syafi’i dengan tetap mengakui tiga mazhab lain (Hanbali, Hanafi, dan Maliki). Sebagian besar salafi dan pengikut Muhammadiyah melihat kepatuhan ini sebagai “peniruan buta” (taklid). Namun, mereka mengizinkan “peniruan informasi” (ittiba’) ulama dari mazhab mana pun asalkan berdasarkan pertimbangan rasional, bagi Muhammadiyah atau argumen kitab suci, bagi salafi.
Penyusun dan penerjemah: Arif Rinaldi
Editor: Teuku Zulman Sangga Buana & Nauval T
Sumber: Laporan Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) berjudul “The Anti-Salafi Campaign in Aceh”.