Sejak merdeka, Indonesia berusaha teguh memeluk pesan Undang-Undang Dasar 1945, bahwa kemerdekaan ialah hak segala bangsa dan penjajahan di atas dunia harus dihapuskan. Keteguhan itu tampak pada dukungan penuh negara ini terhadap kemerdekaan Palestina.
Dalam posisi yang belum tegak sempurna, saat baru saja lepas dari dua agresi biadab Belanda, Sukarno-Hatta kukuh tak bergeming menyikapi dua telegram ucapan selamat dari Israel; pesan-pesan itu diabaikan. Sukarno juga menolak keikutsertaan Israel dalam KAA 1955 di Bandung dan, sebaliknya, ia mengundang mufti Palestina sebagai perwakilan negara Palestina.
Bahkan Sukarno memerintahkan Timnas yang selangkah lagi akan bermain di Piala Dunia 1958 untuk mundur karena mesti bertanding melawan Israel: Bertanding berarti mengakui. Selang 4 tahun kemudian, Indonesia juga menolak memberikan visa bagi Israel yang hendak ikut serta dalam Asian Games 1962, penolakan itu berujung pada skorsing dari IOC. Namun, bung karno tetap pada pendiriannya, Indonesia bukanlah bangsa yang bisa didikte.
Dukungan Sukarno pada Palestina terus disuarakan hingga di ujung senja kekuasaannya. Pada pidato Kemerdekaan ke-21 Republik Indonesia, 17 Agustus 1966, ia berujar bahwa menentang Israel adalah penentangan terhadap imperialisme.
“Kita harus bangga, bahwa kita adalah satu bangsa yang konsekuen terus. Bukan saja berjiwa kemerdekaan, bukan saja berjiwa anti-imperialisme, tetapi juga konsekuen terus berjuang menentang imperialisme. Itulah pula sebabnya kita tidak mau mengakui Israel!” kata Sukarno sebagaimana dimuat dalam Revolusi Belum Selesai.
Keteguhan Soekarno itu tetap terawat di era Orde Baru hingga era reformasi. Di era Orde Baru, Kedutaan Besar Palestina untuk Indonesia berdiri. Bahkan Presiden Soeharto selalu menemui dan menjamu langsung ketua PLO Yaser Arafat dalam tiga kali lawatannya ke Indonesia. Soeharto juga menekankan dalam banyak kesempatan bahwa Indonesia akan selalu mendukung perjuangan Palestina.
Dalam sebuah kesempatan, Presiden Megawati mengatakan bahwa kemerdekaan bangsa Palestina adalah hutang sejarah yang kita miliki. Betapa bangsa-bangsa yang mengikuti KAA 1955 sudah merdeka seutuhnya, tetapi Palestina adalah satu-satunya yang belum merdeka.
Di penghujung masa kepresidenan SBY, ia menuliskan surat ke banyak pemimpin negara mengenai pentingnya kemerdekaan bagi Palestina. Baginya, perang yang saat itu terjadi sudah melampaui batas moral etika adab dan kemanusiaan. Suratnya itu turut dimuat di halaman awal Strait Times Edisi 31 Juli 2014.
Bahkan hingga kini Indonesia tidak pernah berubah soal Palestina, dalam beberapa waktu terakhir, Menlu Indonesia, Retno Marsudi mewakili kepala negara kerap kali menekankan betapa Indonesia dalam seluruh forum internasional, selalu bergandengan tangan dan berayun langkah beriringan dengan Palestina.
Upaya mendukung kemerdekaan Palestina adalah hal yang amat prinsipil secara politis sesuai dengan amanat UUD 1945. Karenanya, dukungan terhadap Palestina tetap dan harus terus menyala hingga kapan pun Indonesia tegak dan berdaulat. Indonesia selalu bersama Palestina.
Penulis: Misbahul
Editor: Nauval Pally Taran