Di tengah lautan manusia, semua orang melangkah dengan tujuan yang satu: Baitullah. Semua berbalut kain ihram yang sederhana, tak ada perbedaan yang tampak. Ragam manusia menjadi satu, sewarna dan setara.
Malam itu, hamparan padang pasir seperti lautan putih yang dipenuhi jutaan manusia. Dalam kegelapan, hanya cahaya dari tenda-tenda yang menyala, mengiringi gemuruh suara takbir, tahmid, dan doa yang membahana ke langit. Haji, sebuah ibadah yang tidak hanya mengajarkan ketundukan kepada Allah, tetapi juga menegaskan kesetaraan umat manusia di hadapan-Nya.
Di sini, di tanah suci yang sama, tak ada raja maupun rakyat jelata, tak ada yang lebih tinggi ataupun lebih rendah. Semua berbaur, menyatu dalam satu kesamaan: manusia yang mencari rida ilahi. Mereka yang biasa dihormati karena status sosialnya kini berdiri sejajar dengan yang lainnya, mereka yang kaya maupun miskin, kulit putih atau hitam, semua berdiri di hadapan Allah dengan cara yang sama.
Rasulullah dalam khotbah terakhirnya menyatakan kesetaraan itu, “Wahai manusia, sesungguhnya Tuhan kalian adalah satu dan ayah kalian juga satu. Ketahuilah, tidak ada kelebihan seorang Arab atas non-Arab, dan tidak ada kelebihan seorang non-Arab atas seorang Arab. Tidak ada kelebihan orang putih atas orang hitam, dan tidak ada kelebihan orang hitam atas orang putih kecuali dengan takwa dan amal salih.” (HR. Ahmad).
Kesetaraan yang diajarkan melalui haji bukanlah sekadar simbolisme. Ini adalah sebuah pengingat bahwa setiap manusia memiliki nilai yang sama di hadapan Allah, bahwa setiap jiwa berhak untuk hidup dalam kehormatan dan kedamaian dan bahwa setiap kehormatan itu berharga dan terjaga.
Dalam khotbah Wada’ Rasulullah menyampaikan tentang pentingnya menjaga kehormatan sesama muslim, “Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, dan kehormatan kalian adalah haram (dilanggar) atas sesama kalian, sebagaimana haramnya hari ini, bulan ini, dan tanah ini.” (HR. Bukhari dan Muslim). Rasulullah menggambarkan kehormatan ini dengan perumpamaan yang sangat kuat; yaitu haramnya melanggar kehormatan sesama muslim seperti haramnya bulan Dzulhijjah, Hari Arafah, dan tanah suci Makkah.
Haji, dengan segala ritual dan maknanya, mengajarkan kita bahwa pada hakikatnya, manusia adalah satu kesatuan. Kesetaraan ini adalah pesan penting yang perlu diingat dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam dunia yang kerap kali dilanda konflik dan perpecahan, haji memberikan contoh konkret tentang bagaimana seharusnya kita hidup: dalam harmoni, saling menghargai, dan mengutamakan persaudaraan kemanusiaan.
Menyemai Nilai Kesetaraan dalam Kehidupan
Kembali dari haji, para jemaah akan membawa serta nilai-nilai yang mereka pelajari. Mereka yang tadinya kaya raya mungkin akan lebih rendah hati, mereka yang terbiasa dengan kehidupan mewah mungkin akan lebih bersahaja, dan mereka yang biasanya berada di bawah mungkin akan merasa lebih dihargai dan setara. Setiap langkah kaki yang mereka jejakkan di tanah suci mengukir pelajaran yang mendalam tentang kesetaraan dan persaudaraan.
Pelajaran tersebut tak boleh berhenti di Makkah dan Madinah. Kesetaraan yang diajarkan harus terus dibawa ke dalam setiap aspek kehidupan. Dalam keluarga, masyarakat, hingga dalam tatanan berbangsa dan bernegara. Kesadaran akan kesetaraan manusia harus menjadi dasar dalam setiap keputusan dan tindakan.
Di tengah dunia yang semakin kompleks dengan segala tantangannya, nilai-nilai kesetaraan dari ibadah haji bisa menjadi kompas moral yang membimbing manusia menuju kehidupan yang lebih adil dan harmonis. Haji bukan hanya tentang perjalanan fisik menuju tanah suci, tetapi juga tentang perjalanan spiritual yang mengarahkan manusia kepada kesadaran penuh akan kesetaraan dan kemuliaan setiap individu.
Penulis: Misbahul
Editor: Nauval Pally Taran