close
Esaigoogletrending

Gus Miftah: Representasi Kerukunan yang Sering Tak Rukun

Gus Miftah

SAHIH.CO – Ketika Gus Miftah diangkat sebagai utusan khusus presiden untuk urusan kerukunan beragama, harapan baik disematkan pada jabatan tersebut. Jabatan ini menuntut sosok yang mampu menjadi jembatan harmonisasi, mengurai konflik, dan membangun narasi keagamaan yang menyatukan. Namun, sikap Gus Miftah kerap bertolak belakang dengan posisinya itu.

Perilaku terbarunya yang menggobloki pedagang es teh, tak hanya memperlihatkan kurangnya etika, tetapi juga menunjukkan arogansi yang tidak pantas untuk seorang pemuka agama dan pejabat negara.

Ini bukan kali pertama Gus Miftah bersikap buruk dan menuai kecaman. Masih segar dalam ingatan publik bagaimana ia menolak kepala istrinya di depan umum, dengan alasan candaan; menggelar pagelaran wayang yang menghina seorang pendakwah Ustaz Khalid Basalamah; hingga bagi-bagi uang saat masa kampanye politik. Ia begitu akrab dengan kontroversi. Ia bagai memerlukan sensasi untuk menjaga popularitas.

Sikap-sikapnya kerap menimbulkan pertanyaan mendasar tentang batasan seorang dalam menjalankan dakwah. Misalnya, dakwahnya di klub malam yang menjadi sorotan. Meski berdalih bahwa dakwah harus menjangkau semua kalangan, pilihan lokasi ini menciptakan pro dan kontra serius. Pendekatan semacam ini justru membelah persepsi publik tentang apa yang pantas dan tidak dalam dakwah.

Mengenai peristiwa terbaru, banyak kritik muncul dari berbagai kalangan, mempertanyakan kelayakan Gus Miftah mengemban jabatan yang ia duduki saat ini. Bagaimana mungkin seseorang yang secara terbuka menunjukkan ketidakrahmatan terhadap rakyat kecil dan gagal menjaga adab dalam ucapan dapat menjadi simbol kerukunan beragama? Bukankah kerukunan dibangun atas sikap rahmat, rasa hormat, empati dan kepedulian terhadap sesama?

Dengan jabatannya sekarang, Gus Miftah tentu diharapkan untuk dapat mendorong tercapainya Kerukunan dan keharmonisan dari atas justru, tapi ia malah merusaknya.

Kita juga tak boleh lupa, bahwa kehancuran tidak memerlukan keburukan mayoritas. Hanya segelintir orang di posisi kunci yang bertindak tidak bertanggung jawab, sudah cukup untuk membawa bencana.

Sejarah kaum Tsamud adalah contoh nyata. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:

“Dan adalah di kota itu sembilan orang laki-laki yang membuat kerusakan di muka bumi, dan mereka tidak berbuat kebaikan.” (QS. An-Naml: 48)

Sudah saatnya introspeksi dan evaluasi dilakukan. Jabatan adalah tanggung jawab, bukan sekadar status. Publik tidak hanya membutuhkan tokoh dengan popularitas, tetapi juga dengan kredibilitas dan moralitas yang baik.

Pejabat publik adalah orang yang dalam tindak-tanduknya, di sana publik dapat melihat teladan dan harapan. Posisinya dalam jabatan mesti dapat memberi manfaat nyata bagi bangsa. Rakyat tidak butuh kontroversi dan sensasi.

Penulis: Misbahul
Editor: Nauval Pally Taran

Tags : ceramahgus miftahintoleransiislamislam nusantaramoderasi beragamamuslimNahdlatul Ulama

The author Redaksi Sahih