Penulis: M. Natsir, Pahlawan Nasional
Bahasa Arab bagi kita di Indonesia bukanlah satu bahasa yang dianggap asing sebagaimana asingnya bahasa-bahasa Belanda, Inggeris, Jerman, Perancis dan lain-lainnya.
Adalah pembawaan sejarah bangsa kita, bahwa Bahasa Arab itu, jauh sebelum kita dapat merebut kemerdekaan kita kembali dari penjajahan yang berabad-abad, sudah berjalan bersama dengan Bahasa Indonesia ataupun bahasa daerah.
Banyak sekali kitab-kitab agama ataupun yang tidak berhubungan dengan agama ditulis dalam Bahasa Indonesia atau bahasa daerah dalam huruf Arab atau huruf pegon. Sedang Bahasa Indonesia kita sendiri banyak sekali mengandung kata-kata yang berasal dari Bahasa Arab. Malah jauh sebelum adanya komunikasi yang modern dan pesat seperti sekarang ini.
Di zaman penjajahan, Bahasa Arab yang dikembangkan dalam pondok-pondok pesantren pada hakekatnya mempunyai satu fungsi kebudayaan yang diadakan oleh penjajah.
Kalaupun Bahasa Belanda tidak dapat menghubungkan bangsa kita dengan perkembangan kebudayaan di luar wilayah negeri kita maka Bahasa Arab lah yang menjadi penghubung atau saluran pemikiran-pemikiran yang segar dari luar Indonesia.
Dengan perantaraan Bahasa Arab para kiai-kiai dan ulama-ulama di pesantren-pesantren itu dapat mengikuti perkembangan ide dan pemikiran dari para pemimpin-pemimpin dan ahli pikir seperti Jamaluddin Al-Afghani, Syekh Mohammad Abduh, Syekh (Muhammad bin) Abdul Wahab dan lain-lain.
Seorang ulama kita yang hidupnya terpencil seperti di Sambas Kalimantan Barat, umpamanya, dapat berkomunikasi dengan seorang pemimpin perjuangan kemerdekaan seperti Amir Syaqib Arsalan di Geneve dengan Bahasa Arab. Kiai kita itu mencetuskan satu pertanyaan yang selama ini terpendam dalam hatinya, yaitu pertanyaannya:
“لِمَاذَا تَأَخَّرَ المُسلِمُونَ؟“
“Kenapa Umat Islam menjadi terbelakang?”
Satu pertanyaan yang tulus ikhlas itu dijawab oleh Amir Syaqib Arsalan juga dalam Bahasa Arab, malah menjadi satu brosur yang judulnya juga:
“لِمَاذَا تَأَخَّرَ المُسلِمُونَ وَتَقَدَّمَ غَيرُهُم؟“
“Mengapa Kaum Muslimin Mundur dan Bangsa Lain Maju,” sebagai jawaban.
Brosur ini dikaji oleh para kiai dan santri-santri kita di pondok-pondok pesantren jauh sebelum kita mencapai kemerdekaan. Dan tema ini sebenarnya adalah satu tema yang cukup berat dan tinggi nilainya untuk menjadi pembahasan di universitas-universitas di zaman modern sekarang ini.
Dan kalau kita meninjau sepintas lalu saja perpustakaan Islam yang telah tumbuh dari abad ke abad semenjak Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Ibnu Khaldun dan lain-lain, maka tidak berlebihan bila kita berkata bahwa Bahasa Arab itu adalah bahasa komunikasi sehari-hari, bahasa falsafah, bahasa ilmu pengetahuan (science), pendeknya, bahasa kebudayaan.
Di samping itu, bagi kita Umat Islam, Bahasa Arab itu mempunyai fungsi yang khusus.
Sebagaimana kita ketahui tatkala Rasulullah saw. akan berpisah dengan umatnya setelah menyampaikan risalah selama 23 tahun lamanya, beliau menutup khotbah perpisahannya dengan satu kalimat yang merupakan pesan terakhir. Beliau bersabda:
“إِنِّي قَدْ تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا: كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ”
“Aku telah tinggalkan bagimu dua hal yang kalau kamu berpegang teguh padanya kamu pantang akan tersesat, yakni: Kitabullah dan Sunnah Nabi.”
Kitabullah dan Sunnah Nabi tertulis dalam Bahasa Arab. Maka kewajiban kita sebagai Jemaah Islamiah ialah supaya di antara kita senantiasa ada satu korps yang memperdalam Bahasa Arab itu sedalam mungkin agar dapat menggali ilmu agama dan rahasia-rahasianya yang diperlukan untuk tuntunan hidup bagi Jemaah Islamiah dari bermacam-macam lapiran.
Korps ini diberi gelar oleh Al Quran dengan nama:
طَائِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا
Yaitu satu kelompok yang tugasnya memperdalam ilmu agama guna mengingat-ingatkan kaumnya apabila mereka ini telah kembali (dari medan jihad) agar mereka senantiasa awas dan “waspada”.
Maka sebenarnya tiap-tiap Jemaah Islamiah di manapun ia berada memikul satu fardu kifayah untuk membina satu korps yang demikian. Yaitu mereka yang mampu untuk menggali ilmu agama langsung dari sumbernya.
Dalam rangka inilah kita menilai dan menghargai usaha dari lembaga akademi Bahasa Arab. Justru akademi yang mengkhususkan usahanya untuk meningkatkan kemampuan menguasai Bahasa Arab di kalangan mereka yang tidak dapat tidak, harus mendalami Agama Islam baik sebagai guru-guru yang mengajar di sekolah-sekolah agama, para mubalig dan khatib yang kita harapkan merupakan calon bagi satu generasi ulama-ulama menjadi penjaga gawang bagi Agama Islam selanjutnya di negeri kita.
Dinukil dari Majalah Suara Masjid Edisi 58, Juli 1979 dengan beberapa penyesuaian.