Penulis: Misbahul
Kebudayaan seringkali dimaknai dalam ruang lingkup yang sempit, bahkan oleh para “penanggung jawab kebudayaan” itu sendiri. Gaung kebudayaan lebih sering terdengar dalam lingkup kesenian, estetika, atau perayaan budaya yang bersifat seremonial. Padahal, kebudayaan jauh lebih besar dan fundamental dari sekadar soal-soal itu.
Dalam konteks Indonesia, pembicaraan mengenai kebudayaan semestinya tidak terlepas dari Pancasila sebagai produk sekaligus landasan kebudayaan, dengan seluruh nilai-nilai yang terkandung padanya.
Dalam hiruk-pikuk modernisasi dan globalisasi kini, nyatanya Pancasila justru makin terpinggirkan. Nilai-nilainya yang seharusnya menjadi landasan dalam kehidupan sosial, politik dan ekonomi mulai memudar. Pancasila seakan hanya menjadi jargon tanpa makna, hanya disebut dalam pidato-pidato resmi, tetapi tidak benar-benar dihayati dan diamalkan. Bahkan lebih menyedihkan, ia sering digunakan sebagai alat propaganda atau senjata untuk menyerang pihak-pihak yang berbeda.
Padahal, Pancasila bukan hanya sekadar dasar negara atau ideologi yang tertulis dalam dokumen resmi. Lebih dari itu, Pancasila adalah landasan kebudayaan bangsa ini—lahir dari kebijaksanaan nenek moyang yang telah hidup dalam peradaban Nusantara selama berabad-abad. Setiap sila dalam Pancasila mencerminkan nilai-nilai budaya yang sudah lama mengakar dalam masyarakat kita.
Ketuhanan yang Maha Esa menggambarkan karakter bangsa Indonesia yang religius dan menjunjung tinggi nilai ketuhanan. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab mencerminkan sikap saling menghormati dan menjunjung tinggi keadilan dalam kehidupan sosial. Persatuan Indonesia menjadi simbol keberagaman dan kebersamaan dalam ikatan kebangsaan yang kuat. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan mengakar dalam budaya musyawarah yang telah dipraktikkan di seluruh penjuru Nusantara. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia menggambarkan nilai egalitarianisme dan kebersamaan yang telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat sejak lama.
Dengan kata lain, Pancasila bukanlah sesuatu yang dipaksakan atau diimpor dari luar, akan tetapi ia adalah cerminan dari jiwa dan karakter ideal bangsa ini. Namun sayangnya, kita justru semakin menjauh dari akar budaya terbesar kita sendiri. Lihatlah bagaimana nilai-nilai Pancasila satu per satu mulai terkikis dalam kehidupan sehari-hari.
Bagi anak-anak sekolah, Pancasila hanya hadir setiap Senin pagi dalam upacara bendera, sekadar dihafal, tetapi tak dihayati. Bagi sebagian politisi, Pancasila hanyalah alat meraup suara, dikutip dalam pidato-pidato, tetapi diingkari dalam tindakan. Bagi sebagian yang lain, Pancasila justru dijadikan senjata untuk menyerang lawan, menuduh mereka yang berbeda pendapapat sebagai “tidak Pancasilais”.
Lihatlah sekeliling kita, bagaimana nilai-nilai dalam Pancasila satu per satu mulai runtuh. Ketuhanan yang Maha Esa kian terkikis oleh upaya-upaya desakralisasi agama dan sekularisme yang mengabaikan nilai ketuhanan. Kemanusiaan yang adil dan beradab sering dikalahkan oleh ketamakan dan ketidakpedulian. Persatuan Indonesia semakin rapuh di tengah polarisasi politik dan ujaran kebencian yang terus dipupuk. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan tereduksi menjadi praktik oligarki dan kepentingan kelompok. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia masih menjadi ilusi di tengah kesenjangan yang makin lebar dan terus dipelihara.
Sungguh, jika kita benar-benar ingin membangun Indonesia yang maju dan bermartabat, kita tidak boleh hanya fokus pada pertumbuhan ekonomi atau pencapaian teknologi semata. Sebab, sehebat apa pun sebuah negara dalam bidang ekonomi dan teknologi, tanpa fondasi nilai yang kokoh, ia akan rapuh dan mudah runtuh.
Pancasila sebagai produk dan landasan kebudayaan bukan sekadar konsep di atas kertas, tetapi semestinya menjadi pola hidup yang membentuk karakter bangsa. Budaya bukan hanya soal tari, musik, atau pakaian adat, tetapi juga tentang cara berpikir, bersikap, dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari. Sayangnya, kita justru membiarkan aspek budaya yang paling esensial ini tercerabut dari akarnya.
Jika kita terus membiarkan nilai-nilai ini memudar, kita sedang menuju pada kehancuran yang kita buat sendiri. Jika kita ingin mewujudkan visi Indonesia Emas 2045, bukan hanya ekonomi dan teknologi yang harus kita kejar, tetapi juga jiwa dan karakter bangsa yang harus kita hidupkan kembali. Saat Pancasila kembali menjadi budaya yang dihayati dan diamalkan, bukan hanya diucapkan, maka saat itulah kita benar-benar menjadi bangsa yang besar.
Editor: Nauval Pally Taran