close
BisnisRagam

‘Sisi Lain’ Skincare

sisi-lain-skincare

Penulis: M. Haris Syahputra

Perkembangan teknologi telah memberi banyak dampak dalam kehidupan, salah satunya ialah meningkatnya kesadaran akan pentingnya perawatan kulit. Kulit yang indah merupakan Impian hampir semua orang, terutama perempuan. Menjadi glowing-pun menjadi tuntutan yang cukup beralasan di tengah maraknya produk skincare, baik impor maupun lokal.

Merujuk pada Katadata, pendapatan sektor kecantikan dan perawatan diri pada 2022 mencapai 111,83 triliun, di mana angka ini diproyeksikan akan terus bertumbuh setidaknya 5,81% setiap tahun sampai 2027. Besarnya marketshare dari sektor ini menyulut hasrat banyak pihak untuk memanfaatkan peluang, semata-mata guna meraup untung, tanpa mempertimbangkan etika dan dampak-dampak yang muncul.

Bagaimana Skincare Diproduksi?

Maraknya brand skincare lokal yang tiba-tiba naik daun seharusnya membuat kita bertanya-tanya, bagaimana produk skincare yang rumit ini bisa diproduksi secepat dan semasif itu? Bahkan menawarkan solusi atas setiap detail masalah kulit yang tak pernah kita kenal sebelumnya.

Ya, jawabannya ialah jasa pabrik/maklon.

Hampir seluruh skincare yang tersebar di pasar itu diproduksi hanya oleh beberapa pabrik. Satu pabrik bahkan bisa memproduksi untuk puluhan hingga ratusan brand sekaligus. Memang, proses maklon ini tidak singkat, ada beberapa proses yang harus dilewati sampai produk benar-benar layak didistribusikan. Namun, karena berkaitan dengan pihak ketiga, celah nakalnya ada di mana-mana.

Berdasarkan keterangan dari Christina Lie, brand owner lumecolors dalam kanal youtubenya, terkadang, pabrik akan mengganti beberapa bahan baku dengan yang lebih murah guna mendapatkan margin yang besar. Ada juga brand owner yang menekan harga produksi tapi ingin tetap bisa memberikan klaim-klaim yang wah (overclaim) dengan harga yang tinggi (overprice). Akibatnya, kualitas skincare tidak lagi menjadi tujuan, dan dampak instan dari pemakaianlah yang justru dicari.

Jejak Kerusakan Lingkungan

Tak hanya soal kualitas produk, tanpa disadari, keinginan manusia untuk teruis tampil cantik telah turut menimbulkan dampak-dampak ekologis yang kian memprihatinkan. TRVST melaporkan, limbah kemasan kecantikan global berkisar 120 miliar unit sampah setiap tahunnya. Di mana hampir seluruh kemasan tersebut tidak didaur ulang dengan baik sehingga berakhir di tempat pembuangan akhir.

Skincare dikemas dalam berbagai bentuk kemasan yang sebagian besarnya menggunakan plastik. Kemasan sekundernya seperti lapisan perlindungan pun sama, hanya meningkatkan limbah. Melansir dari sustainable-earth, sebagian besar produk kosmetik berakhir di tempat pembuangan sampah setelah kedaluwarsa atau tidak digunakan. Bahan-bahan tertentu seperti plastik, logam berat, dan bahan kimia sintetis dapat mencemari tanah dan air, serta menimbulkan risiko bagi satwa liar. Oleh karena itu, praktik daur ulang dan penggunaan produk ramah lingkungan menjadi masalah serius bagi industri ini.

Kualitas Konsumen

Berbagai kisruh yang terjadi dan mengemuka dalam industri ini sejatinya hanya riak dari sekelumit masalah yang sebenarnya. Harga mahal, kini tak lagi menjamin kualitas yang setimpal. Apalagi, produk murah dengan klaim yang tak wajar dan menggila. Selain krisisnya etika bisnis produsen, bobroknya industri ini juga turut disumbang oleh rendahnya tingkat literasi dan mindset konsumen yang ingin serba instan. Orang tak lagi mendalami produk saat membeli, tapi hanya mendasarkan pembelian tersebut pada review dan iklan yang sering kali dilebih-lebihkan, karena narasi dampak instan.

Kita tak mungkin berharap penuh jika seluruh pabrik dan brand owner jujur dan menjaga etika dalam berbisnis. Pada kondisi yang seperti ini, kitalah yang harus pintar dan tidak impulsif dalam membeli, apalagi menggunakan suatu produk tanpa tau detail komposisi dan dampak jangka panjangnya. Sebab memang, bagi sebagian orang, cara memperoleh kekayaan tak butuh justifikasi saintifik dan etik.

Editor: Nauval Pally Taran

Tags : bisnisekonomikesehatanskincareteknologi

The author Redaksi Sahih