close
Opini

Donald Trump dan ‘DNA’ Kolonialisme Amerika

Sumber Foto: BBC

Penulis: Misbahul

Ketika berembus kabar bahwa Donald Trump ingin mengambil alih Gaza dan memindahkan penduduknya ke negara lain, dunia seketika bereaksi. Beberapa melihatnya sebagai manuver politik yang brutal, sementara yang lain, yang sedikit lebih paham sejarah Amerika, justru merasa ini bukan hal baru.

Pengusiran paksa, perampasan tanah, dan penghancuran budaya adalah ‘DNA’ politik Amerika sejak hari pertama negara itu berdiri. Dari pengusiran brutal suku Indian di awal abad ke-19 hingga dukungan tanpa syarat terhadap Israel, sejarah ini terus berulang dengan wajah yang berbeda.

Apa yang terjadi hari ini di Palestina bukanlah anomali. Ini hanyalah bab terbaru dari kolonialisme dan imperialisme yang sudah lama menjadi landasan kebijakan luar negeri Amerika Serikat.

Trail of Tears: Eksodus Paksa Kaum Indian

Pada awal abad ke-19, Amerika Serikat mengadopsi kebijakan pemindahan paksa terhadap penduduk asli Amerika. Salah satu peristiwa paling kejam dalam sejarah ini adalah Trail of Tears pada tahun 1830-an. Di bawah kepemimpinan Presiden Andrew Jackson, Kongres meloloskan Indian Removal Act yang memaksa suku Cherokee, Creek, Seminole, dan beberapa lainnya meninggalkan tanah leluhur mereka di bagian tenggara Amerika Serikat. Pada tahun 1837, 46.000 penduduk asli Amerika dari negara-negara bagian tenggara telah dipindahkan, sehingga tersedia tanah seluas 25 juta are (100.000 km²) untuk orang-orang kulit putih. Ribuan orang meninggal dalam perjalanan panjang yang penuh penderitaan menuju wilayah baru yang disebut “Indian Territory” (sekarang Oklahoma).

Kebijakan ini bukan hanya tentang pengusiran fisik, tetapi juga merupakan bentuk penghancuran budaya. Orang-orang Indian kehilangan rumah, tanah, serta cara hidup mereka yang telah berlangsung selama berabad-abad. Perampasan ini dilakukan demi kepentingan ekspansi pemukim kulit putih dan eksploitasi sumber daya tanah yang mereka duduki.

Kolonialisme Amerika: Dari Hawaii ke Palestina

Setelah berhasil mengusir penduduk asli dari tanah mereka sendiri, Amerika Serikat melanjutkan ekspansi globalnya dengan pola yang serupa: menaklukkan, menduduki, dan menanamkan pengaruhnya atas wilayah-wilayah lain di dunia. Salah satu contoh awal dari kolonialisme AS adalah aneksasi Hawaii pada akhir abad ke-19. Pada tahun 1893, sekelompok elit bisnis dan politik yang didukung oleh militer AS menggulingkan Ratu Liliʻuokalani, pemimpin terakhir Kerajaan Hawaii. Lima tahun kemudian, tanpa mengindahkan penolakan banyak penduduk asli, Amerika Serikat secara resmi menganeksasi Hawaii. Pendudukan ini mengubah struktur ekonomi dan sosial kepulauan tersebut secara drastis, menjadikannya pusat industri gula yang dikuasai oleh perusahaan-perusahaan AS, sementara penduduk pribumi kehilangan tanah dan kedaulatannya.

Sementara itu, di belahan dunia lain, Filipina menjadi korban ambisi kolonialisme AS setelah Perang Spanyol-Amerika pada tahun 1898. Dengan kemenangan atas Spanyol, Amerika Serikat mengambil alih Filipina dan menghadapi perlawanan sengit dari rakyat Filipina dalam Perang Filipina-Amerika yang berlangsung dari 1899 hingga 1902. Perang brutal ini menyebabkan ratusan ribu orang Filipina tewas, baik akibat pertempuran, kelaparan, maupun penyakit. Kendali AS atas Filipina terus berlangsung hingga 1946, meninggalkan jejak mendalam dalam sistem politik dan ekonomi negara tersebut, termasuk pengaruh kuat dalam kebijakan luar negerinya.

Kolonialisme Amerika juga merambah ke wilayah-wilayah lain yang direbut dari Spanyol pada tahun 1898, seperti Puerto Rico, Guam, dan Kepulauan Pasifik. Hingga saat ini, Puerto Rico masih berstatus sebagai “wilayah tidak berinkorporasi”, yang berarti penduduknya tetap di bawah yurisdiksi AS tanpa memiliki hak penuh sebagai warga negara Amerika. Status ini memperkuat ketergantungan ekonomi dan politik wilayah-wilayah tersebut terhadap Washington, sementara penduduknya terus berjuang untuk hak dan kedaulatan mereka sendiri.

Dukungan Amerika Serikat terhadap pendudukan Israel di Palestina menjadi salah satu bentuk kolonialisme modern yang masih berlangsung hingga hari ini. Sejak berdirinya Israel pada tahun 1948, AS telah menjadi sekutu utamanya, memberikan miliaran dolar dalam bentuk bantuan militer dan ekonomi. Dukungan ini memungkinkan Israel untuk terus memperluas permukiman ilegal di tanah Palestina dan menjalankan kebijakan yang mengakibatkan pengusiran paksa warga Palestina dari rumah mereka. Berbagai organisasi hak asasi manusia telah berulang kali melaporkan pelanggaran yang terjadi, tapi Washington tetap mempertahankan posisinya sebagai pendukung utama Israel, menjadikan Palestina sebagai salah satu korban  global yang terus berlanjut.

Rencana Trump untuk Gaza menunjukkan pola yang sama seperti yang pernah dilakukan AS terhadap penduduk asli Amerika. Jika hal ini terjadi, itu akan menjadi kelanjutan dari praktik kolonialisme dan etnosida yang telah lama menjadi bagian dari strategi politik Amerika.

Dukungan AS terhadap Israel mencerminkan kebijakan yang sama seperti yang pernah diterapkan terhadap suku Indian. Seperti suku Cherokee yang dipaksa berjalan ribuan kilometer demi kepentingan pemukim kulit putih, warga Palestina kini menghadapi pemindahan paksa demi kepentingan Israel dan sekutunya. Dalihnya selalu sama: demokrasi, stabilitas, dan keamanan nasional. Tetapi, di balik semua jargon itu, selalu ada yang menderita dan kehilangan rumah.

Sebuah Pengulangan Sejarah

Dari Indian hingga Palestina, Amerika terus mengulangi pola yang sama: mengambil tanah, mengusir penduduk asli, dan menciptakan justifikasi politik untuk tindakan mereka. Perampasan tanah dan pengusiran paksa bukan sekadar kebijakan sementara, melainkan bagian yang tidak terpisahkan dari ‘DNA’ kolonialisme Amerika.

Sejarah mengajarkan bahwa kebijakan semacam ini tidak akan bertahan selamanya. Namun, selama perampasan tanah masih didukung oleh kekuatan besar, tragedi seperti Trail of Tears akan terus berulang dengan nama dan bentuk yang berbeda. Hari ini, Palestina adalah wajah baru dari sejarah kelam yang pernah menimpa suku Indian di Amerika. Pertanyaannya, sampai kapan dunia akan membiarkan sejarah ini terus berulang?


Editor:
Nauval Pally Taran

Tags : Amerika SerikatgenosidaimperialismekemanusiaankolonialismePalestinatrump

The author Redaksi Sahih