Penulis: M. Haris Syahputra
Industri kelapa sawit sering kali dibayangi stigma buruk, mulai dari dakwaan merusak lingkungan hingga anggapan tidak berkelanjutan. Namun, jika menanam sawit memang benar merusak lingkungan, siapkah kita untuk berhenti menggunakan sabun, kosmetik, margarin, atau bahkan minyak goreng?
Mengingat, minyak sawit ada pada hampir semua produk sehari-hari, mulai dari bahan makanan, kosmetik, bahan bakar dan produk pembersih. Dan kita justru menganggap sawit sebagai ancaman bagi bumi dan kehidupan. Benarkah sawit seburuk itu? Atau, apakah tata kelolanya yang justru bermasalah?
Peran Minyak Sawit bagi Indonesia
Meski lekat dengan kontroversi, minyak sawit masih menjadi komoditas utama di dunia. Lebih dari 50% pasokan minyak sawit global berasal dari Indonesia. Itu artinya, industri sawit berperan penting dalam perekonomian kita, yang di antaranya ialah sebagai penghasil devisa, penyerap tenaga kerja, dan merupakan lokomotif pertumbuhan ekonomi.
Merujuk pada BRIN, kontribusi industri ini terhadap devisa negara pada 2023 mencapai sekitar Rp600 triliun. Selain itu, kontribusi industri sawit ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mencapai Rp88 triliun, yang terdiri dari penerimaan sektor perpajakan sebesar Rp50,2 triliun, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Rp32,4 triliun, dan bea keluar sebesar Rp6,1 triliun.
Sawit Lebih dari Sekadar Minyak
Selain produktivitas yang tinggi dan adaptasi yang baik terhadap tanah dan iklim, hal yang menarik dari kelapa sawit ialah dapat memberikan hasil maksimal dalam rentan waktu yang relatif singkat. Karena itu, kelapa sawit menjadi pilihan ekonomis yang bahkan dapat digunakan pada hampir semua produk hilir yang bernilai lebih tinggi.
Tak hanya CPO, limbah sawit juga bernilai ekonomi bagi produsen. Industri kelapa sawit menghasilkan berbagai jenis limbah, seperti pelepah, batang, tandan buah segar, dan cangkang, yang memiliki potensi besar untuk diolah menjadi bahan baku berbagai produk. Seiring meningkatnya produksi sawit setiap tahun, pemanfaatan limbah ini menjadi peluang yang kian menjanjikan.
Selain limbah padat, proses pengolahan kelapa sawit juga menghasilkan limbah cair, Palm Oil Mill Effluent (POME), yang dapat dikonversi menjadi bioenergi, pupuk organik, dan produk bernilai tambah lainnya. Dari sini, dapat dikatakan bahwa hampir seluruh hasil dari proses pengolahan minyak sawit bernilai ekonomi.
Kebun Sawit Bukanlah Hutan
Menjadi lokomotif ekonomi, tak lantas membuat industri kelapa sawit bebas cela. Pembukaan lahan kelapa sawit masih berkaitan erat dengan deforestasi. Meskipun kelapa sawit mampu menyerap CO2, kapasitasnya tetap jauh lebih kecil dibandingkan tanaman alami yang ada di hutan. Oleh karena itu, konversi hutan menjadi perkebunan sawit tak dapat dianggap bebas dampak.
Tidak seperti hutan, perkebunan kelapa sawit bersifat monokultur—hanya ditumbuhi satu jenis tanaman. Sedangkan hutan tropis merupakan ekosistem kompleks yang menopang ribuan spesies flora dan fauna. Hutan juga menyediakan habitat bagi ragam spesies seperti orangutan, harimau dan gajah. Sementara pembukaan lahan sawit justru mengganggu habitat, menyebabkan konflik satwa, bahkan kepunahan.
Selain itu, sawit berbeda dengan hutan yang dengan keanekaragaman hayatinya bertindak sebagai spons yang menyerap air dan melepaskannya secara perlahan ke tanah (mencegah banjir dan kekeringan). Sawit justru memiliki akar dangkal yang tak mampu menyimpan air dengan baik, sehingga memperbesar potensi banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau.
Hutan menyediakan fungsi ekologis yang jauh lebih kompleks, dari penyimpanan karbon hingga perlindungan biodiversitas. Jadi, menanam sawit tanpa batasan dan prosedur yang jelas tidaklah dapat dibenarkan. Perlu penerapan pengelolaan yang lebih berkelanjutan; seperti agroforestri dan perlindungan hutan primer. Sawit memang penting bagi ekonomi, tetapi mengorbankan hutan atas nama profit adalah jalan menuju bencana ekologis yang mengerikan.
Sawit Bukan Masalah, Tata Kelola yang Jadi Kunci
Untuk itu, pemerintah harus hadir dengan regulasi yang tegas untuk memastikan industri sawit berkembang tanpa merusak dan merugikan. Tanpa aturan yang jelas, ekspansi sawit bisa makin liar dan tak terkendali, memicu deforestasi, konflik lahan, bahkan eksploitasi petani kecil. Kebijakan yang berimbang antara kepentingan ekonomi, sosial, dan ekologi mutlak diperlukan.
Sebagai lokomotif ekonomi, kita patut memberi porsi perhatian lebih pada sektor ini. Industri kelapa sawit bukan tak mungkin digarap secara berkelanjutan dan tanpa mengorbankan hal-hal lain yang tak kalah penting. Lahan gambut, keanekaragaman hayati dan hak-hak rakyat bukanlah suatu hal yang dapat dikorbankan hanya untuk mengejar nilai ekonomi.
Apalagi, potensi ekonomi kita tidak hanya sawit. Tentu saja, peran Indonesia bagi dunia lebih dari sekadar menyuplai kelapa sawit. Ada banyak sumber daya lain yang harusnya dapat dikapitalisasi, yang dengan itu, ketergantungan pilar ekonomi pada industri ini tak menjadi sedemikan parahnya. Tanaman sawit bukanlah masalah, yang bermasalah adalah tata kelola kita—terutama keserakahan yang begitu melimpah.
Editor: Nauval Pally Taran