Penulis: Misbahul
Kepercayaan adalah dasar dari setiap bisnis layanan, termasuk layanan keuangan. Sebagai penyedia jasa yang mengelola dana masyarakat, Bank Syariah Indonesia (BSI) seharusnya memastikan akses yang lancar dan stabil bagi para penggunanya. Namun, kenyataan berkata lain. Berulang kali nasabah menghadapi gangguan: Mobile banking yang tak bisa diakses, ATM yang tidak berfungsi, hingga sistem yang sering mengalami kendala tanpa ada perbaikan yang berarti. Tak heran jika warganet dengan nada satire menyebut BSI sebagai “Ber-Sabarlah Indonesia”—sebuah cerminan dari ketidakpuasan atas layanan yang tidak pernah benar-benar bisa diandalkan.
Pada tahun 2023, layanan BSI lumpuh selama beberapa hari akibat serangan siber. Nasabah kesulitan mengakses rekening mereka sendiri, menghadapi ketidakpastian terhadap dana yang mereka percayakan kepada bank ini. Kejadian besar semacam ini seharusnya menjadi titik balik untuk perbaikan total. Tetapi apa yang terjadi? Masalah datang terus berulang, seakan-akan tidak ada pelajaran yang diambil dari pengalaman buruk itu.
Memang, gangguan semacam ini bisa dimaklumi saat BSI masih dalam masa transisi pasca-merger tiga bank syariah besar. Penggabungan entitas sebesar itu tentu membutuhkan waktu untuk menyatukan sistem dan menyesuaikan operasional. Namun, merger ini terjadi pada tahun 2021—artinya, masa transisi seharusnya telah berlalu. Jika hingga kini layanan masih bermasalah, maka ini bukan lagi soal penyesuaian pasca-merger, melainkan ketidakmampuan atau ketidakseriusan dalam mengelola sistem dan menjaga kepercayaan masyarakat.
Ketika sebuah layanan keuangan terus-menerus mengalami kendala teknis tanpa perbaikan yang nyata, wajar jika muncul pertanyaan: apakah ini murni masalah teknis, atau ada persoalan yang lebih mendasar? Apakah BSI benar-benar berkomitmen meningkatkan kualitasnya, atau hanya mengandalkan embel-embel “syariah” tanpa memperhatikan kenyamanan pengguna?
Untuk Aceh, situasi ini menjadi makin pelik. Aceh adalah satu-satunya wilayah yang menerapkan sistem keuangan berbasis syariah secara penuh melalui Qanun Lembaga Keuangan Syariah (LKS). Itu artinya, masyarakat Aceh nyaris tak punya opsi lain yang memadai, sehingga mereka akhirnya menjadi pelanggan “terpaksa” dari layanan yang sering kali mengecewakan.
BSI seperti belum menyadari betul tanggung jawabnya sebagai penyedia layanan yang berperan besar dalam keseharian masyarakat. Mereka membiarkan nasabahnya harus berulang kali menghadapi ketidakpastian layanan, seolah-olah kebutuhan nasabah bukanlah prioritas.
Dalam Islam, pelayanan publik seharusnya membawa kepada kemudahan, kemanfaatan, dan menjauhkan kemudaratan sejauh-jauhnya. Prinsip ini menegaskan bahwa layanan yang baik harus memudahkan urusan manusia, bukan justru menambah kesulitan.
Sayangnya, layanan BSI saat ini justru sering kali menciptakan ketidakpastian dan menyulitkan penggunanya. Nasabah yang ingin mengakses dana mereka sendiri harus menghadapi gangguan yang berulang-ulang, mulai dari aplikasi yang tidak dapat digunakan hingga ATM yang tidak berfungsi. Hal ini bukan hanya merugikan secara praktis, tetapi juga bertentangan dengan etika pelayanan dalam Islam yang menuntut profesionalitas dan kemanfaatan.
Layanan keuangan tidak hanya soal transaksi, tetapi juga soal tanggung jawab dalam memastikan keandalan dan keamanan bagi para penggunanya. Jika BSI terus-menerus tidak mampu membangun kepercayaan ini, tentu orang akan mencari alternatif lain. Dan, masalahnya, BSI kadung dicitrakan sebagai representasi institusi keuangan syariah. Artinya, bukan hanya citra BSI yang dapat terus memburuk, tapi juga citra institusi keuangan syariah secara umum.
Editor: Ibnu Amirul