Penulis: Misbahul
Jika seseorang bertanya, kapan masa keemasan Islam itu? Kebanyakan akan menjawab: Saat Dinasti Abbasiyah menggenggam dunia, saat Baitul Hikmah berdiri kokoh dan filsafat menjalari pemikiran Islam, saat ilmu-ilmu materi berkembang pesat, dan dunia menjadi pusat perhatian banyak orang. Namun, di balik itu semua, ada realitas lain, bahwa saudara saling berbunuhan demi tahta khalifah, umat Islam terpecah dalam banyak segi, dan dunia memenuhi hati mereka.
Padahal, jika merujuk pada narasi Islam yang lebih otoritatif dan otentik, kejayaan tidak diukur dari pencapaian materi, melainkan dari kondisi spiritual dan nilai-nilai kebajikan. Hal ini tercermin dalam sirah nabawiyyah, khususnya dalam peristiwa hijrah ke Habasyah. Ketika Ja’far bin Abi Thalib berbicara kepada Raja Najasyi, ia menggambarkan transformasi masyarakat Islam dengan jelas,
“Pada awalnya, kami adalah kaum yang hidup dalam kebodohan. Kami menyembah berhala, memutus hubungan keluarga, memakan bangkai, berlaku zalim, tidak menyayangi tetangga, dan yang kuat selalu menindas yang lemah. Dalam kondisi demikian, Allah mengutus seorang Rasul dari kalangan kami, yang kami kenal kejujurannya, amanahnya, dan kesuciannya. Ia menyeru kami untuk menyembah Allah semata, menegakkan salat, membayar zakat, berpuasa di bulan Ramadan, serta meninggalkan kebiasaan jahiliah. Ia mengajarkan kejujuran, amanah, persaudaraan, serta penghormatan terhadap nyawa manusia. Ia melarang zina, kesaksian palsu, dan pemanfaatan harta anak yatim (secara zalim). Maka kami beriman dan mengikuti risalahnya serta menjalankan petunjuk yang dibawanya.”
Dari narasi ini, terlihat jelas bahwa kebangkitan Islam berawal dari kematangan spiritual dan tegaknya nilai-nilai kebajikan universal. Dua aspek inilah yang mengangkat umat Islam dari kegelapan jahiliah menuju cahaya peradaban sejati.
Zaman Keemasan
Istilah “Zaman Keemasan” sering kali menghadirkan gambaran tentang suatu periode yang lebih baik dari masa sebelumnya dan sesuatu yang setelahnya tidak hanya tidak sebaik zaman ini tetapi juga menyiratkan suatu kemunduran.
Bagi umat Islam, istilah “Zaman Keemasan” lebih cocok digunakan untuk merujuk pada periode yang dimulai dari masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya hingga era para Khulafa ar-Rasyidin. Dalam beberapa pandangan, hal ini juga mencakup era pemerintahan Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu di periode awal Dinasti Umayyah. Pandangan ini lebih mencerminkan perspektif Islam yang murni, bukan perspektif Barat yang cenderung mengukur kejayaan suatu peradaban berdasarkan kemajuan fisik.
Menghormati tokoh-tokoh Islam yang berjasa dalam bidang matematika, fisika, atau sains lainnya adalah hal yang memang sepatutnya, tetapi sebuah masyarakat yang benar-benar unggul bukanlah yang hanya dipenuhi ilmuwan atau filsuf yang terpesona dengan ide-ide Yunani. Dari perspektif Islam, masa keemasan sejati adalah masa ketika nilai-nilai ilahiah ditegakkan secara utuh dalam kehidupan umat. Oleh karena itu, kaum muslim perlu memahami sejarah mereka dengan kacamata Islam yang murni, bukan melalui narasi kolonial yang materialistis.
Kejayaan Islam bukan sekadar tentang pencapaian ilmu dan kemajuan duniawi, tetapi tentang bagaimana manusia hidup sesuai dengan prinsip-prinsip ilahi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menegaskan,
“Sebaik-baik kurun adalah zamanku, kemudian zaman setelahnya, kemudian zaman setelahnya.”
Maka, jika ingin mengembalikan kejayaan Islam, umat ini harus kembali kepada esensi Islam yang sejati—bukan sekadar membangun peradaban fisik, tetapi membangun manusia yang berpegang teguh pada nilai-nilai ilahiah.
Meninjau Ulang Konsep Kemajuan
Salah satu kesalahan besar dalam memahami sejarah Islam adalah menganggap bahwa kemajuan hanya dapat diukur dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kemajuan sejati dalam Islam bukan hanya tentang membangun kota-kota megah, mendirikan perpustakaan besar, atau menguasai ilmu eksakta. Kemajuan sejati adalah ketika nilai-nilai Islam diterapkan dalam kehidupan masyarakat. Sebuah peradaban bisa maju dalam sains dan teknologi, tetapi jika kehilangan nilai spiritual dan moral, maka kejayaannya hanyalah fatamorgana.
Kita bisa melihat bagaimana kejayaan Islam runtuh ketika peradaban yang dibangun tidak lagi berpegang teguh pada nilai-nilai Islam. Banyak kerajaan Islam yang kuat secara militer dan ekonomi, tetapi ketika nilai-nilai Islam ditinggalkan, kehancuran pun tak terhindarkan. Hal ini menunjukkan bahwa fondasi peradaban Islam bukanlah pencapaian duniawi, tetapi ketakwaan dan kepatuhan kepada Allah.
Islam adalah agama yang membawa peradaban dengan pendekatan yang holistik: tidak hanya ilmu dan teknologi, tetapi juga akhlak, ibadah, dan keseimbangan sosial. Oleh karena itu, jika ingin membangun kembali kejayaan Islam, umat ini harus lebih dulu memperbaiki diri secara spiritual dan sosial. Kita perlu belajar dari generasi terbaik Islam, bukan hanya dalam pencapaian ilmiah, tetapi juga dalam cara mereka menjalankan kehidupan yang sesuai dengan nilai-nilai ilahiah. Keemasan Islam bukan terletak pada gedung-gedung tinggi atau kecanggihan teknologi, tetapi pada ketinggian moral dan kedekatan kepada Allah. Karena itu, bila kita sungguh-sungguh bertakwa, semua akan paripurna pada waktunya.
Editor: Nauval Pally Taran