close
Sumber Foto Ilustrasi: Pixabay

Penulis: Misbahul

Di sebuah gang sempit di jantung New Delhi, Rahim Khan duduk termenung di depan warung tehnya yang kecil. Usianya sudah melewati setengah abad. “Dulu kami semua hidup berdampingan. Sekarang, aku merasa seperti orang asing di tanahku sendiri,” katanya lirih sambil mengaduk teh dalam cangkir kecil.

Rahim hanyalah satu dari jutaan muslim di India yang makin tersisih. Seiring dengan menguatnya politik identitas berbasis agama, komunitas muslim menghadapi tekanan yang kian menyesakkan. Diskriminasi terjadi dalam berbagai bentuk, mulai dari kebijakan negara, ujaran kebencian, hingga kekerasan yang terus berulang.

Salah satu kebijakan yang menegaskan ketimpangan ini adalah Undang-Undang Kewarganegaraan (CAA) yang disahkan pada 2019. Aturan ini membuka jalan bagi para pengungsi dari negara tetangga untuk memperoleh kewarganegaraan India—kecuali jika mereka beragama Islam. Sementara itu, National Register of Citizens (NRC), yang pertama kali diterapkan di Assam, menyebabkan ribuan muslim kehilangan status kewarganegaraan mereka. Mereka dicap sebagai imigran ilegal meskipun telah tinggal di India sepanjang hidupnya. Tanpa identitas hukum yang sah, mereka terancam masuk ke dalam kamp-kamp penahanan tanpa kepastian nasib.

Diskriminasi terjadi tak hanya pada tingkat kebijakan. Narasi kebencian yang terus digaungkan kelompok-kelompok garis keras telah memicu gelombang kekerasan terhadap komunitas muslim. Pogrom Delhi 2020 menjadi salah satu contoh kelam: Puluhan muslim dibantai, masjid-masjid dibakar, dan rumah-rumah dihancurkan. Aisha Begum, seorang ibu tiga anak, masih mengingat malam itu dengan jelas. Suaminya diseret keluar oleh massa yang meneriakkan slogan kebencian. Ia mencoba menghentikan mereka, tapi tak ada yang peduli. Kini, ia harus bertahan hidup di kamp pengungsian bersama anak-anaknya, tanpa kepastian masa depan.

Ujaran kebencian di India pada tahun 2024 makin mengkhawatirkan, terkait erat dengan ambisi ideologis Partai Bharatiya Janata (BPJ) dan gerakan nasionalis Hindu yang lebih luas, demikian laporan India Hate Lab, seperti dikutip oleh CNN. PM Modi sejak lama menuai kritikan dari para kritikus. Ia dianggap memicu ketegangan antar kelompok agama dan memicu kekerasan terhadap muslim dan agama minoritas lainnya.

Ketidakadilan terhadap komunitas muslim juga merambah ke sektor ekonomi dan pendidikan. Meskipun mereka mencakup sekitar 15% dari populasi India, angka buta huruf di kalangan muslim jauh lebih tinggi dibandingkan kelompok lain. Peluang mendapatkan pekerjaan di sektor formal pun sangat kecil, sementara di tingkat pemerintahan dan institusi pendidikan tinggi, kehadiran mereka hampir tak terlihat.

Kebebasan beribadah pun makin terancam. Masjid dan madrasah banyak yang ditutup dengan dalih keamanan nasional, sementara aturan baru memaksa muslim untuk menyesuaikan diri dengan budaya mayoritas. Larangan terhadap pemakaian hijab di sekolah dan tekanan untuk meninggalkan makanan halal di beberapa daerah hanyalah sebagian kecil dari tekanan yang mereka hadapi.

Meski demikian, perlawanan masih ada. Gerakan protes anti-CAA yang pecah di berbagai kota menjadi bukti bahwa banyak warga yang menolak diskriminasi ini. Mahasiswa, aktivis dan masyarakat Hindu yang moderat bersatu melawan kebijakan yang dinilai tak adil. Namun, gerakan ini mendapat respons keras. Banyak aktivis ditangkap, dituduh sebagai antinasional, bahkan media yang mencoba mengangkat isu ini pun mendapat tekanan dari pemerintah.

Rahim Khan, Aisha Begum, dan jutaan muslim lainnya di India kini hidup dalam ketidakpastian. Mereka terus berjuang untuk hak-hak yang seharusnya sudah menjadi bagian dari mereka sejak lahir. Namun, di tanah yang makin menyempit bagi mereka, harapan terasa makin menjauh.

Diskriminasi Berbasis Kasta

Marginalisasi di India tidak hanya menimpa komunitas muslim, tetapi juga kasta Dalit yang selama berabad-abad menjadi korban ketidakadilan sosial. Diskriminasi terhadap kedua kelompok ini memiliki asal yang berbeda, tetapi menerima efek yang sama: keterpinggiran, kekerasan, dan ketidakadilan struktural. Jika komunitas muslim menghadapi tekanan berbasis agama yang makin meningkat akibat nasionalisme Hindu, maka Dalit mengalami diskriminasi berbasis kasta yang telah mengakar selama berabad-abad.

Sistem kasta India adalah salah satu bentuk stratifikasi sosial tertua di dunia yang masih bertahan. Sistem kasta ini mengategorikan orang Hindu saat lahir, mendefinisikan tempat mereka dalam masyarakat, pekerjaan apa yang dapat mereka lakukan dan siapa yang dapat mereka nikahi.

Sejak 1949, pemerintah India telah secara resmi menghapuskan sistem kasta dalam masyarakat. Namun, mayoritas kasta Dalit masih hidup dalam diskriminasi dengan desa, tempat beribadah, bahkan sekolah yang terpisah.

Lebih dari 160 juta orang di India berasal dari kasta Dalit, kelompok yang selama berabad-abad menjadi korban diskriminasi sistematis. Dari jumlah tersebut, 90 persen hidup dalam kemiskinan, dan 95 persen masih buta huruf—sebuah kenyataan yang terus mengunci mereka dalam lingkaran keterbelakangan sosial dan ekonomi.

Di India, menjadi Dalit bukan hanya berarti lahir dalam kemiskinan—tetapi juga harus bertahan hidup dalam sistem yang menolak memberi mereka kesempatan untuk keluar dari keterpurukan. Diskriminasi, kekerasan, dan eksploitasi masih menjadi bayangan gelap yang terus menghantui kehidupan mereka.

India, dengan segala kompleksitas sosial dan politiknya, masih harus menghadapi tantangan besar dalam membangun masyarakat yang benar-benar inklusif. Marginalisasi terhadap komunitas muslim dan kasta Dalit adalah cerminan dari ketimpangan yang terus berakar dalam sistem yang belum mampu sepenuhnya melepaskan diri dari prasangka dan hierarki sosial. Masa depan mereka, dan masa depan India sendiri, akan sangat ditentukan oleh sejauh mana negara ini mampu mengatasi ketidakadilan ini dan mewujudkan janji demokrasi bagi seluruh rakyatnya.

Editor: Nauval Pally Taran

Tags : indiaislamofobiakebebasankekerasanminoritasmuslimsorotan

The author Redaksi Sahih