Penulis: Misbahul
Saudi Arabia kini dalam jalan panjang memimpin negara-negara Timur Tengah menuju transformasi modern dengan proyek Neomnya. Yang kata Pangeran Mahkota Muhammad bin Salman, “Saya kira, Eropa yang baru adalah Timur Tengah.” Namun, jauh sebelum semakmur sekarang dan menjadi aktor penting dalam geopolitik Timur Tengah, Saudi pernah kesulitan dengan wilayah kerontang yang didominasi oleh gurun tersebut, hingga pernah tercatat sebagai salah satu negara yang cukup miskin. Bahkan, Wangsa Saud pernah dua kali kehilangan wilayah mereka akibat ekspansi Ottoman Turki.
Keemiran Dir’iyah dan Tajdid Syekh
Negara Arab Saudi pertama kali didirikan oleh Imam Muhammad bin Saud pada 22 Februari 1727. Diriyah (sekitar 20 kilometer dari Riyadh) ditetapkan sebagai Ibu Kota Saudi Arabia saat itu dengan konstitusi berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya.
Mengarah ke barat laut Kota Riyadh, terlihat bangunan-bangunan tua yang tampak masih kokoh. Konon, bangunan itu merupakan kompleks rumah-rumah keluarga raja Saudi yang didirikan awal 1800-an. Kompleks tersebut berlokasi di Distrik Turaif, yang masuk wilayah Dir’iyah, tepatnya di kaki bukit di mana Kota Turaif berlokasi.
Di kota itulah, pada tahun 1744, Muhammad bin Suud bersepakat dengan gerakan tajdid Syekh Muhammad al-Tamimi dan membentuk aliansi untuk mendirikan gerakan reformasi sosial keagamaan guna menyatukan negara-negara di Semenanjung Arabia. Kesepakatan itu dibuktikan dengan diangkatnya beliau sebagai mufti Keemiran Dir’iyah.
Setelah mendapat ujian dan fitnah di Uyaynah disertai tekanan politik dari penguasa setempat, hijrah ke Dir’iyah adalah kesempatan baik yang Allah berikan bagi Syekh Muhammad al-Tamimi. Kesepakatan dengan penguasa Dir’iyah menjadi peluang emas bagi perkembangan dakwah beliau.
Dari sanalah Ibnu Saud dan keturunannya, dibantu oleh Alu-Syaikh, berhasil mengelola seluruh Nejd. Sejak itu, Dir’iyah berkembang menjadi kota besar di Nejd dan kota utama di Arab. Keemiran Dir’iyah yang semula hanya meliputi wilayah kecil kemudian menjelma menjadi negara dengan kekuasaan yang luas, meliputi wilayah Nejd (Riyadh, Qassim), Hijaz (Mekah, Madinah), Ahsa’ (Jazirah Arab sebelah timur), dan lainnya.
Meskipun dominasi Alu-Syaikh dalam hal urusan agama telah menyusut dalam beberapa dasawarsa terakhir, mereka masih memegang banyak sekali jabatan keagamaan yang penting di Arab Saudi dan mempunyai hubungan erat dengan Alu-Saud melalui pernikahan. Karena kekuasaan moral-keagamaannya itu, hubungan erat antara kedua keluarga tersebut menjadi penting dalam menjaga legitimasi keluarga dan pemerintahan Saudi. Namun demikian, Alu-Syaikh masih merupakan keluarga paling prestisius kedua setelah keluarga kerajaan. Keluarga ini terus memegang banyak jabatan keagamaan yang penting di Arab Saudi.
Perkembangan Dir’iyah yang pesat tersebut ternyata tidak disukai oleh Kesultanan Turki Utsmani. Ekspansi yang dilakukan oleh Ibnu Suud dan Syekh berpotensi merusak hegemoni mereka di Hijaz. Karenanya, pada tahun 1818, kota ini diinvasi oleh Kesultanan Turki Utsmani, sehingga terjadi perang yang membuat Dir’iyah menjadi sasaran. Selama enam bulan, Dir’iyah dikepung oleh tentara Turki Utsmani. Pemukiman hingga taman kota hancur. Sebanyak 1.800 tentara Arab tewas dalam insiden itu.
Bahkan, Robert Lacey, seorang sejarawan asal Inggris, menyebut Dir’iyah sebagai “a sand-blown Pompeii” (Pompeii yang tertiup pasir).
Negara Saudi Kedua: Kebangkitan yang Terhambat
Setelah jatuhnya Keemiran Dir’iyah, keturunan Ibnu Saud tidak serta-merta menyerah. Mereka tetap berusaha membangun kembali kejayaan yang telah hilang. Pada tahun 1824, Turki bin Abdullah bin Muhammad Al Saud berhasil merebut kembali Riyadh dan mendirikan Negara Saudi Kedua dengan pusat pemerintahan di sana.
Namun, berbeda dengan pendahulunya, Negara Saudi Kedua mengalami banyak perpecahan internal. Ketegangan di dalam keluarga Saud sendiri, ditambah dengan tekanan dari Kesultanan Utsmani dan suku-suku pesaing di wilayah Nejd, membuat pemerintahan mereka tidak stabil. Beberapa kali terjadi pergantian penguasa akibat perebutan kekuasaan antaranggota keluarga.
Puncaknya, pada tahun 1891, Muhammad bin Rasheed dari Emirat Jabal Shammar mengalahkan pasukan Saudi dan mengusir Abdul Rahman bin Faisal Al Saud—ayah dari Abdul Aziz bin Saud—ke Kuwait. Dengan peristiwa itu, Negara Saudi Kedua runtuh, meninggalkan Riyadh dalam kendali musuh mereka.
Negara Saudi Ketiga: Mendirikan Dinasti Modern
Setelah lebih dari satu dekade dalam pengasingan di Kuwait, Abdul Aziz bin Saud yang masih muda mulai merancang rencana untuk merebut kembali Riyadh. Pada tahun 1902, bersama sekelompok kecil pengikut setianya, ia melakukan serangan mendadak ke Istana Masmak di Riyadh dan berhasil merebut kota tersebut. Kemenangan ini menjadi titik awal kebangkitan kembali Wangsa Saud.
Setelah menguasai Riyadh, Abdul Aziz secara perlahan memperluas wilayah kekuasaannya dengan menaklukkan suku-suku dan wilayah yang sebelumnya dikuasai oleh musuhnya. Pada 1924-1925, ia berhasil merebut Makkah dan Madinah dari Syarif Hussein, yang saat itu memimpin Hijaz. Dengan demikian, seluruh wilayah Nejd dan Hijaz berada di bawah kendali Abdul Aziz.
Pada 23 September 1932, Abdul Aziz secara resmi memproklamasikan berdirinya Kerajaan Arab Saudi, menyatukan berbagai wilayah di Jazirah Arab di bawah satu pemerintahan. Hari itu kemudian diperingati sebagai Hari Nasional Arab Saudi, sementara tanggal 22 Februari diperingati sebagai Yaumu Ta’sis, untuk mengenang berdirinya Saudi pertama kali pada tahun 1727.
Reformasi Saudi: Menuju Masa Depan yang Tidak Pasti
Saat ini, Arab Saudi tengah mengalami transformasi besar-besaran di bawah kepemimpinan Muhammad bin Salman (MBS), putra mahkota yang ambisius. Dengan Visi 2030, ia berusaha mengurangi ketergantungan ekonomi Saudi terhadap minyak dan mengembangkan sektor lain seperti pariwisata, teknologi, dan hiburan. Proyek ambisius seperti Neom—kota futuristik senilai ratusan miliar dolar—menjadi simbol dari modernisasi ini.
Selain ekonomi, MBS juga melakukan reinterpretasi terhadap doktrin keagamaan yang dianut negaranya. Beberapa kebijakan kontroversial seperti membatasi peran ulama konservatif, memperbolehkan hiburan dan konser musik, serta meningkatkan hak-hak perempuan menunjukkan pergeseran menuju pendekatan yang lebih liberal.
Namun, banyak yang bertanya-tanya, ke mana arah Saudi di masa depan? Di satu sisi, perubahan ini menjanjikan era baru bagi Arab Saudi. Namun di sisi lain, ia juga membawa tantangan besar yang melawan arus mayoritas masyarakat.
Editor: Nauval Pally Taran