Penulis: Misbahul
Seorang guru yang baik bukan hanya menyampaikan ilmu, tetapi juga memberikan keteladanan bagi murid-muridnya. Sebagaimana pesan Utbah bin Abu Sufyan kepada Abdus Shomad, guru yang akan mengajari anaknya:
لِيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَبْدَأُ بِهِ مِنْ إِصْلَاحِ بَنِي إِصْلَاحُ نَفْسِكَ ؛ فَإِنَّ أَعْيُنَهُمْ مَعْقُودَةٌ بِعَيْنِكَ ؛ فَالْحَسَنُ عِنْدَهُمْ مَا اسْتَحْسَنْتَ
“Hal pertama yang mesti engkau lakukan sebelum mendidik anak-anakku adalah memperbaiki dirimu sendiri, karena mata mereka selalu tertuju kepadamu. Apa yang engkau anggap baik, mereka pun menganggapnya baik. Dan apa yang engkau anggap buruk, mereka pun menganggapnya buruk.”
Keteladanan ini menjadi kunci utama dalam mendidik, karena murid cenderung meniru sikap dan perilaku gurunya.
Imam Tajuddin Al-Subki dalam kitabnya Thabaqāt al-Syāfi’iyyah menyebutkan kisah Imam Izzuddin al-Hikari. Suatu hari beliau memberikan fatwa yang ternyata keliru. Ketika menyadari kesalahannya, beliau mengumumkan di hadapan khalayak di Kairo, Mesir,
“Barangsiapa mendengar fatwa demikian, maka jangan diamalkan, karena itu salah.”
Sikap seperti ini menunjukkan integritas seorang ulama yang lebih mengutamakan kebenaran daripada ego atau kedudukannya. Sebaliknya, banyak orang yang merasa berilmu sulit mengakui kesalahan dan hanya menganggap pendapatnya yang benar. Bahkan cenderung mencari celah hukum untuk menjustifikasi apa yang ia lakukan. Pahamilah, barangsiapa yang mencari celah hukum setelah melakukan kesalahan, maka sungguh sebenarnya ia sedang membela dirinya sendiri, bukan membela agama ataupun kebenaran.
Dalam dunia dakwah, sering kali seseorang memulainya dengan niat meninggikan agama Allah, tapi akhirnya tergelincir menjadi meninggikan dirinya sendiri. Ini menjadi tantangan besar yang harus diwaspadai oleh setiap pendakwah. Salah satu contoh keteladanan dalam dakwah adalah sikap Khalifah Umar bin Khattab. Ketika seorang muslimah mengkritik kebijakan beliau terkait mahar, ia berkata:
“Betapa beraninya engkau ya Umar mengalahkan firman Allah dalam ayat ini dan itu.”
Tanpa ragu, Umar segera mengoreksi dirinya dengan berkata,
“Wanita itu betul. Dan Umar salah!”
Sikap rendah hati ini menunjukkan bahwa kebenaran harus lebih diutamakan daripada mempertahankan gengsi atau kedudukan pribadi.
Salah satu penghalang terbesar dalam dakwah bukanlah kekuasaan, intrik politik, atau gangguan eksternal oposisi, melainkan dosa yang dilakukan oleh pelaku dakwah itu sendiri. Allah berfirman dalam QS. Al-Ma’idah: 105:
لَا يَضُرُّكُم مَّن ضَلَّ إِذَا ٱهْتَدَيْتُمْ
“Orang-orang yang sesat itu takkan membahayakan kalian, jika kalian telah mendapatkan petunjuk.”
Oleh karena itu, membersihkan diri dari dosa dan menjaga ketulusan niat menjadi faktor penting dalam keberhasilan dakwah dan pendidikan.
Mencari guru terbaik tidak hanya tentang ilmunya, tetapi juga tentang akhlaknya. Guru yang baik adalah mereka yang menjadi teladan bagi murid-muridnya, jujur dalam menyampaikan ilmu dan berani mengakui kesalahan, memiliki niat yang tulus dalam berdakwah, serta menjaga diri dari dosa agar dakwahnya tetap bersih dan penuh keberkahan.
Dengan memilih guru yang memiliki karakter seperti itu, kita akan mendapatkan ilmu yang berkah dan bermanfaat bagi kehidupan kita.
Editor: Nauval Pally Taran