close
KalamOpini

Menggugat ‘Majelis Dakwah’ Oplosan

Sumber Foto Ilustrasi: Istimewa

Penulis: Misbahul

Dakwah dalam Islam memiliki patron yang jelas, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah. Dalam Surat An-Nahl ayat 125, Allah Swt. memerintahkan Rasulullah untuk menyeru manusia ke jalan-Nya secara bil hikmah wal mau’izatil hasanah wa jadilhum billati hiya ahsan. Artinya, dakwah harus dilakukan dengan kebijaksanaan, ketegasan yang benar, pengajaran yang baik serta bantahan dengan baik pula. Tanpa elemen-elemen tersebut, dakwah tidak akan mencapai tujuannya.

Mengapa harus merujuk kepada Al-Qur’an? Sederhana, karena materi dakwah adalah ajaran Islam. Metode penyebaran agama haruslah berlandaskan sumber utama Islam, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah, agar tujuan dakwah tetap terarah. Output yang diinginkan dari dakwah adalah terbentuknya insan yang beradab, mendekatkan diri kepada Allah, serta meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.

Namun, dalam perkembangannya, medan dakwah makin banyak diisi oleh ketidakpatutan. Di beberapa tempat, dakwah justru disusupi oleh musik DJ dan konser yang diisi joget-jogetan dengan dalih selawatan, sementara di tempat lain, dakwah dipenuhi dengan kata-kata vulgar yang bahkan mengarah pada pelecehan verbal. Ironisnya, pelaku-pelaku ini sering kali dianggap sebagai tokoh agama, padahal tindakan mereka jauh dari esensi dakwah yang sesungguhnya.

Dakwah bukanlah hiburan murahan yang bisa dicampuradukkan dengan budaya hedonistik yang jauh dari nilai-nilai Islam. Ketika seseorang berdiri di atas panggung dan berbicara dengan kata-kata kasar, bahkan sampai merendahkan orang lain dengan dalih “humor” atau “keakraban dengan jamaah”, maka ia telah menodai fungsi dakwah itu sendiri. Dakwah harus mengangkat martabat manusia, bukan menjatuhkan atau melecehkan.

Begitu pula dengan fenomena joget dalam dakwah. Menggunakan dalih selawatan untuk berjoget dengan iringan musik adalah bentuk penyimpangan dari tradisi Islam yang mengedepankan kesopanan dan ketenangan. Joget yang dilakukan dalam acara-acara dakwah, yang seharusnya menjadi sarana peningkatan keimanan, justru menghilangkan esensi sakral dari zikir dan selawat itu sendiri. Bagaimana mungkin suatu ajaran suci yang bertujuan untuk mengingat Allah dibarengi dengan ekspresi tubuh yang mengarah pada syahwat atau euforia yang berlebihan?

Dakwah bukan konser, bukan tempat untuk memamerkan hiburan yang menjauhkan manusia dari renungan akan kebesaran Allah. Musik yang menghentak, diiringi dengan suasana euforia, tidak pernah menjadi bagian dari metode dakwah Rasulullah ataupun para ulama salaf yang mewariskan ajaran Islam dengan penuh kehormatan. Musik dalam konteks dakwah semacam ini hanya akan menurunkan marwah Islam dan mengalihkan perhatian umat dari tujuan sejati dakwah, yaitu mendekatkan diri kepada Allah.

Fenomena ini semakin miris ketika sebagian dari mereka mengeklaim sebagai bagian dari tradisi NU atau menggunakan nama besar NU untuk mendapatkan legitimasi. Padahal, jika kita merujuk pada metode dakwah para pendiri NU, seperti KH Hasyim Asy’ari, kita akan menemukan prinsip yang jauh berbeda. Sebagaimana dijelaskan oleh KH Salahuddin Wahid dalam bukunya Transformasi Pesantren Tebuireng: Menjaga Tradisi di Tengah Tantangan, bahwa seseorang da’i harus berpegang teguh dalam melakukan dakwah dan mengikuti jejak nabi dalam menyebarkan agama Islam. Kata-kata vulgar, joget dengan dalih selawatan, dan konser musik dalam panggung dakwah jelas tidak memiliki tempat dalam ajaran Islam ataupun dalam tradisi dakwah para ulama NU terdahulu.

Maka, tidak diragukan lagi bahwa mereka yang merusak esensi dakwah dengan perilaku menyimpang ini adalah benalu dalam dakwah Islam. Mereka mengaburkan makna dakwah yang sesungguhnya dan justru menjauhkan umat dari pemahaman yang benar. Jika dibiarkan, fenomena ini akan makin membesar dan menyesatkan banyak orang, terutama generasi muda yang masih mencari pegangan dalam memahami Islam.

Celakanya, metode dakwah semacam itu telah menipu banyak manusia. Tidak mengherankan memang, sebab Al-Qur’an telah menggambarkan bagaimana setan berdakwah dengan perkataan yang dihiasi keindahan untuk menipu manusia, sebagaimana dalam QS. Al-An’am ayat 112: “zukhrufal qauli ghurura” (perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu manusia.) Dakwah semacam ini memang tidak membawa pencerahan, tetapi hanya membius umat dengan kesenangan semu yang justru menjauhkan mereka dari pemahaman yang benar tentang Islam.

Oleh karena itu, umat Islam perlu kembali pada prinsip dakwah yang murni, yaitu dakwah yang berbasis ilmu, kebijaksanaan, dan pengajaran yang baik, sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah dan para ulama terdahulu. Dakwah harus tetap menjadi sarana penyebaran Islam yang membawa keberkahan dan kebaikan bagi seluruh umat, bukan menjadi panggung hiburan yang melunturkan nilai-nilai agama. Dibutuhkan peran aktif dari para ulama dan tokoh agama yang memiliki kapasitas keilmuan dan pengaruh untuk meluruskan penyimpangan ini, agar dakwah tetap berjalan pada rel yang benar dan tidak terdistorsi oleh kepentingan duniawi yang semu.

Editor: Nauval Pally Taran

Tags : dakwahislamkalamumat Islam

The author Redaksi Sahih