Penulis: Misbahul
Langit Labuhan Batu Selatan hendak menuju senja ketika sebuah pickup yang mengangkut telur melaju di jalan raya mengalami naas. Mungkin sang sopir sedang lelah, atau sekadar lengah sesaat, tapi takdir sudah menunggu. Ia mengemudi terlalu keluar jalur hingga tabrakan dengan Truk Hino di depannya tak terelakkan. Suara benturan memecah udara, diikuti berisik telur-telur yang pecah berserakan di aspal.
Namun, bukan suara sirene ambulans yang pertama kali terdengar. Bukan pula tangan-tangan yang sigap menolong sopir dan kernet yang terkapar. Yang datang justru kerumunan warga, berbondong-bondong seperti semut menemukan gula. Tak nampak ada kesedihan dan musibah di sana, yang terlihat hanyalah telur-telur tak bertuan yang tunggu diselamatkan.
Ironisnya, kernet yang sempat dilarikan ke rumah sakit akhirnya mengembuskan napas terakhir. Ibarat kata pepatah sudah jatuh tertimpa tangga, barang-barang pribadinya—handphone, dompet, dan jam tangan—menghilang entah ke mana.
Dua minggu sebelumnya, di jalan tol Cipularang KM 91, sebuah kecelakaan beruntun terjadi. Salah satu kendaraan yang terlibat adalah truk pengangkut kasur. Tak lama setelah kecelakaan, sekelompok orang datang berlari, untuk memastikan keselamatan kasur-kasur yang berhamburan di jalan. Ada yang membopong kasur di pundaknya dan ada yang menyeretnya. Mereka tak peduli bahwa kasur itu jatuh bukan karena kehendaknya sendiri.
Di Lampung, awal tahun ini, sebuah truk pengangkut durian terguling di jalan raya. Aroma tajam buah berduri itu menguar di udara, menarik perhatian warga sekitar. Tanpa aba-aba, mereka datang seperti sedang memanen durian gratis. Durian-durian itu dikumpulkan, dimasukkan ke karung, ke kantong plastik atau ditenteng dengan tangan kosong. Tak ada yang berpikir untuk membantu sopir yang mungkin terluka. Yang mereka pikirkan hanyalah bagaimana membawa pulang durian sebanyak mungkin. Ketika situasi mulai reda, baru diketahui bahwa sang sopir bukan hanya kehilangan duriannya, tetapi juga kehilangan STNK dan uang tunai 1,5 juta rupiah.
Di Cianjur, kejadian serupa terjadi pada 22 Januari. Sebuah truk pengangkut jeruk mengalami kecelakaan, membuat muatannya tumpah ruah ke jalanan. Lagi-lagi, bukan kepedulian yang datang lebih dulu, tetapi tangan-tangan yang rakus mengutip jeruk, seolah Tuhan baru saja mengirimkan rezeki dari langit.
Dan mungkin masih segar dalam ingatan kita, pada Agustus 2024, di depan Universitas Negeri Makassar, sebuah truk pembawa minyak makan terguling. Minyak yang seharusnya dijual, justru mengalir di aspal dan diangkut oleh puluhan warga dengan ember, galon, bahkan panci. Sopir yang terduduk lemas di tepi jalan hanya bisa menatap nanar. Apa daya, tak ada satu pun yang datang untuk membantunya.
Amat sulit untuk tidak merasa getir atas senarai kejadian di atas. Dari Labuhan Batu hingga Makassar, kenistaan yang sama berulang, bukan empati yang datang lebih dulu, melainkan kerakusan. Orang-orang tak lagi melihat kecelakaan sebagai musibah yang di dalamnya orang perlu ditolong, melainkan sebagai kesempatan emas untuk mengais keuntungan dari kesialan orang lain.
Kita sering berbicara tentang gotong royong, tentang masyarakat yang katanya menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Akan tetapi, pada kenyataannya, di jalan raya, di tengah kepulan debu dan suara sirine yang meraung, kita justru melihat wajah lain dari manusia—wajah yang mengingatkan kita pada adagium homo homini lupus. Bahwa manusia bisa menjadi serigala bagi manusia lainnya. Mungkin inilah wajah asli sebagian dari kita, wajah yang hanya menunggu kesempatan untuk menampakkan taringnya.
Negeri Para Pencuri
Di negeri ini, rakyat kecil paling nyaring berteriak ketika pejabat mereka mencuri. Mereka menuntut keadilan, menyesali rusaknya moral pemimpin, dan mengutuk korupsi di mana-mana. Namun, di saat yang sama, sebagian dari mereka tak ragu mencuri antarsesama.
Ada yang menjarah barang dari kecelakaan, menganggapnya sebagai “rezeki dari Tuhan”. Ada yang mencuri listrik, ada yang mengurangi timbangan dagangan, ada pula yang mengutak-atik laporan pertanggungjawaban. Pejabat desa memanipulasi laporan keuangan desa, mahasiswa yang aktif di organisasi menyulap anggaran kegiatan, siswa sekolah mecuri jajanan di kantin sekolah.
Di negeri ini, mencuri bukan lagi kejahatan. Ia sudah menjadi kebiasaan, budaya yang diwariskan dari atas ke bawah. Pejabat mencuri dalam jumlah besar, rakyat kecil mencuri dalam bentuk yang lebih sederhana. Lalu mereka saling menunjuk, seolah hanya pihak lain yang bersalah. Padahal, bukankah pencuri hanya akan dipimpin oleh pencuri?
Jika masyarakat culas seperti ini terus dibiarkan tumbuh subur, kita tak perlu heran jika kejujuran makin langka dan kebusukan makin merajalela. Sebab pencuri kecil akan melahirkan pencuri besar, dan mereka yang terbiasa mengambil yang bukan haknya akan selalu mencari cara untuk melegalkan perampasan dalam skala yang lebih luas. Negeri ini tak akan pernah lepas dari belenggu korupsi, bukan hanya karena pemimpinnya busuk, tetapi karena rakyatnya sendiri telah lama membusuk.
Editor: Nauval Pally Taran