Penulis: Misbahul
”Nabi adalah orang yang amat dermawan, dan kedermawanannya itu memuncak saat Ramadhan.”
Penggalan terjemahan hadis di atas menyebut bagaimana kedermawanan memperoleh dimensi yang lebih mendalam dan istimewa selama Ramadan. Penyebutan bulan ini sebagai bulan filantropi menjadi relevan mengingat tingginya tingkat kedermawanan yang terwujud pada bulan ini.
Sebagai figur teladan, Nabi saw. tidak hanya memberikan perintah untuk bersedekah lebih selama Ramadan, tapi juga menunjukkan contoh nyata melalui tindakan-tindakan beliau. Tindakan tersebut memberikan kesan yang sangat kuat kepada umat Islam, mengajarkan mereka untuk mengikuti teladan tersebut. Lebih mengesankan lagi, Nabi tidak dikenal sebagai individu yang hidup dalam kemewahan materi, melainkan sebagai sosok yang mengusung kesederhanaan dalam kehidupannya. Bahkan, riwayat mencatat bahwa beliau pernah mengalami keadaan sulit, tidak memiliki cukup makanan selama berhari-hari.
Dalam konteks ini, kegiatan berbagi dalam bulan Ramadan tidak hanya dipandang sebagai amalan tersendiri, tetapi juga sebagai suatu kehormatan mengikuti jejak Nabi. Sifat dermawan Nabi yang diibaratkan melebihi angin yang berhembus mencerminkan intensitas dan luasnya cakupan kedermawanan beliau. Oleh karena itu, budaya berbagi selama bulan Ramadan dapat dianggap sebagai sebuah wujud nyata dari filantropi, di mana umat Islam diilhami untuk berbuat baik dan memberikan bantuan kepada sesama dengan tulus dan ikhlas.
Redistribusi Harta dalam Islam
Islam memiliki mekanisme yang jelas dalam mendistribusikan harta agar tidak menumpuk pada kelompok tertentu saja. Salah satu cara utama yang diajarkan adalah melalui zakat, infak, dan sedekah. Zakat, sebagai kewajiban bagi muslim yang mampu, berfungsi sebagai instrumen utama dalam pemerataan ekonomi, memastikan bahwa sebagian harta orang kaya dapat membantu meringankan beban orang miskin. Infak dan sedekah, meskipun bersifat sukarela, memperkuat budaya kepedulian dan solidaritas sosial.
Dalam konteks Ramadan, semangat redistribusi ini makin menonjol. Selain kewajiban zakat fitrah yang harus ditunaikan sebelum Idul Fitri, banyak umat Islam yang lebih terdorong untuk berbagi dengan sesama, baik dalam bentuk makanan berbuka, santunan bagi fakir miskin, maupun sumbangan untuk lembaga sosial dan keagamaan. Hal ini mencerminkan bahwa Islam tidak hanya menganjurkan ibadah individual tetapi juga menekankan kesejahteraan kolektif melalui keseimbangan ekonomi dan sosial. Tujuan redistribusi harta dalam Islam disinggung dalam firman Allah:
كَىْ لَا يَكُونَ دُولَةًۢ بَيْنَ ٱلْأَغْنِيَآءِ مِنكُمْ ۚ
“Agar harta itu tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kalian.” (al-Hasyr: 7)
Makna al-dulat dalam ayat ini merujuk pada “lingkaran” kekayaan yang hanya berputar di antara sekelompok orang tertentu, khususnya kaum kaya. Dalam konteks sosial, ini menggambarkan sistem ekonomi yang tidak inklusif, di mana harta hanya beredar dalam komunitas elit tanpa menyentuh golongan masyarakat yang lebih luas. Ayat ini menegaskan bahwa Islam menghendaki agar kekayaan tidak hanya menjadi monopoli segelintir orang, tetapi harus mengalir secara adil ke seluruh lapisan masyarakat.
Dalam realitas sosial saat ini, fenomena seperti kesenjangan ekonomi dan ketimpangan distribusi kekayaan masih menjadi tantangan besar di banyak negara muslim. Meskipun mekanisme zakat, infak, dan sedekah telah lama diperkenalkan sebagai solusi Islam terhadap masalah ini, implementasinya sering kali masih bersifat sporadis dan belum menyentuh akar ketimpangan secara struktural. Oleh karena itu, ayat ini tidak hanya menjadi pedoman dalam beramal individu, tetapi juga menjadi landasan bagi kebijakan ekonomi Islam yang lebih luas, seperti sistem keuangan berbasis wakaf produktif, pemberdayaan ekonomi berbasis komunitas, dan distribusi sumber daya yang lebih adil di tingkat negara.
Semangat ayat ini menegaskan bahwa redistribusi kekayaan dalam Islam bukan sekadar anjuran moral, tetapi sebuah prinsip fundamental yang harus diwujudkan dalam kebijakan sosial dan ekonomi umat Islam.
Pada bagian akhir ayat ini ada pernyataan konklusif dari Allah:
وَمَآ ءَاتَىٰكُمُ ٱلرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَىٰكُمْ عَنْهُ فَٱنتَهُوا۟
“Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.”
Bagian ayat ini menegaskan otoritas Rasulullah ﷺ dalam menetapkan hukum serta memberikan petunjuk bagi umat Islam, termasuk dalam aspek ekonomi dan distribusi harta. Ini memperkuat konsep bahwa sistem keuangan dan filantropi dalam Islam, seperti zakat, infak, dan sedekah, bukan sekadar bentuk kebaikan individu, tetapi merupakan bagian dari ketentuan yang harus diikuti oleh umat.
Dalam konteks redistribusi harta, perintah ini menegaskan bahwa umat Islam wajib menjalankan sistem yang telah diajarkan Rasulullah. Beliau tidak hanya menyerukan keadilan ekonomi, tetapi juga menunjukkan contoh nyata dengan mendistribusikan harta kepada mereka yang berhak serta menegaskan larangan menimbun kekayaan tanpa manfaat sosial. Oleh karena itu, kepatuhan terhadap ajaran Rasulullah bukan hanya persoalan spiritual, tetapi juga berdampak pada kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat secara keseluruhan.
Editor: Nauval Pally Taran