close
Esai

Kampus Bukan Pasar Gelap Gelar Akademik

Sumber Foto Ilustrasi: Jawa Pos

Penulis: M. Haris Syahputra

Di Indonesia gelar akademik seperti barang dagangan. Ia diperjual-belikan melalui skripsi instan, tesis tempelan, hingga disertasi hasil tambal sulam. Dengan modal uang dan relasi, seseorang bisa mudah melenggang dengan titel megah di belakang namanya, tanpa perlu melewati proses intelektual yang melelahkan.

Kasus terbaru yang menyeret Menteri Investasi Bahlil Lahadalia adalah puncak gunung es dari bobroknya dunia akademik Indonesia. Disertasinya di Universitas Indonesia diduga menjiplak karya orang lain dengan tingkat kemiripan hingga 95 persen. Ini bukan sekadar keteledoran, tapi penghinaan terhadap dunia pendidikan itu sendiri.

Kita tahu, Bahlil bukan yang pertama, dan mungkin bukan pula yang terakhir. Dunia akademik Indonesia sudah terlalu sering diwarnai kasus serupa. Dari akademisi yang menjiplak, mahasiswa yang membeli skripsi, hingga kampus yang pura-pura buta dan tuli terkait hal ini.

Dekadensi Etika, Degradasi Moral

Kampus semestinya menjadi benteng terakhir moral dan etika. Tempat di mana kejujuran dan integritas dijunjung tinggi. Namun, jika ia pun sudah tercemar praktik curang, bagaimana lagi dengan sektor lain?

Plagiarisme di dunia akademik adalah cerminan dari mentalitas instan yang menggerogoti bangsa ini. Jika pejabat bisa mengakali hukum, mengapa mahasiswa tidak bisa membeli skripsi? Jika pemimpin bisa berbohong, mengapa akademisi tidak boleh melakukan plagiasi?

Dalam masyarakat yang makin permisif terhadap kecurangan, pendidikan tidak lagi menjadi ruang pembentukan karakter. Ia telah berubah menjadi mesin pencetak ijazah, tanpa peduli apakah pemegangnya benar-benar layak dan memenuhi kualifikasi ataupun tidak sama sekali.

Orisinalitas Mati, Integritas Pergi

Pada tahun 2014, Anggito Abimanyu, seorang ekonom dan akademisi, pernah tersandung kasus plagiasi serupa. Ia mengaku ada “kesalahan teknis” dalam mengutip referensi. Profesor Anak Agung Banyu Perwita, seorang guru besar hubungan internasional, juga dicopot dari jabatannya setelah artikelnya di The Jakarta Post terbukti menjiplak salah satu jurnal ilmiah  Australia.

Di atas kertas, dunia akademik mestinya menjunjung tinggi integritas. Tetapi kenyataannya? Banyak kampus yang pura-pura tidak tahu. Alih-alih menindak tegas, mereka lebih suka menutup-nutupi dengan dalih menjaga reputasi. Atau, dalam beberapa kasus, justru ikut bermain dalam praktik ini.

Kampus yang seharusnya menjadi benteng intelektual justru semakin mirip pasar gelap. Gelar akademik bisa didapat dengan uang, disertasi bisa ditulis oleh orang, dan plagiarisme hanya dihukum dengan teguran ringan, itupun jika ketahuan.

Joki Tugas: Mafia Akademik yang Tak Tersentuh

Di belakang layar, bisnis joki tugas pun tumbuh subur dan merajalela. Jasa pembuatan skripsi, tesis, hingga disertasi dipromosi secara bebas. Bahkan, iklan jasa ini terang-terangan bertebaran di media sosial.

“Tanpa revisi, dijamin lolos Turnitin,” begitu bunyi salah satu iklannya.

Para joki ini adalah wajah lain dari mafia akademik. Mereka bukan sekadar “membantu” mahasiswa malas, tetapi juga menjadi bagian dari sistem yang menggerogoti dunia pendidikan dari dalam.

Lebih parah lagi, banyak dari mereka adalah dosen atau akademisi yang paham betul cara menyiasati sistem. Mereka tahu celah-celah agar plagiarisme tidak terdeteksi. Mereka juga tahu bahwa sanksi terhadap penjiplak di Indonesia cenderung ringan.

Jika terus begini, kita akan segera memasuki era di mana akademisi tanpa kompetensi memimpin institusi, dan pemegang gelar doktor tak lebih dari sekadar pemilik ijazah tanpa isi kepala dan kualifikasi.

Suburnya praktik-praktik ini tampaknya berakar dari kampus yang enggan mengambil langkah tegas karena takut merusak reputasi. Akhirnya, plagiarisme hanya dianggap “kesalahan teknis”.

Demi menjaga akreditasi, kini, kampus hanya peduli pada jumlah lulusan, bukan lagi kualitas intelektual. Padahal, tujuan pendidikan bukan hanya mencetak sarjana, tetapi juga membentuk karakter dan integritas. Namun, jika sejak di bangku kuliah saja seseorang sudah terbiasa melakukan kecurangan, bagaimana kita bisa membayangkan tata pemerintahan akan dikelola orang-orang yang berkualifikasi?

Plagiasi di dunia akademik bukan sekadar pelanggaran administratif, tetapi juga cerminan dari krisis moral dan kehancuran integritas intelektual. Kasus-kasus yang mencuat belakangan ini, memperlihatkan bagaimana sistem akademik bisa dikompromikan demi kepentingan individu atau kelompok tertentu. Jika terus dibiarkan, bukan hanya kualitas akademik yang hancur, tetapi juga masa depan bangsa yang kian suram dan tak menentu.


Editor:
Nauval Pally Taran

Tags : akademisiindonesiakampuspendidikanuniversitas

The author Redaksi Sahih