Penulis: Misbahul
Ramadan kerap menjadi saksi bagi sejarah Islam yang terukir dengan tinta emas. Entah mengapa, begitu banyak peristiwa gemilang terjadi di bulan mulia ini. Salah satunya adalah Fathu Makkah—kemenangan yang tak diwarnai dentingan pedang atau tumpahan darah. Hanya pekikan takbir dan tahmid yang menggema dari 10.000 pasukan di bawah panji tauhid.
Semua bermula dari perjanjian damai yang disetujui di Hudaibiyah, sebuah nota kesepakatan antara kaum muslimin Madinah dan kaum musyrikin Quraisy pada tahun ke-6 Hijriyah. Salah satu poin perjanjian itu menyebutkan bahwa siapa pun berhak bergabung dengan salah satu kubu: bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum muslimin atau di pihak Quraisy Makkah.
Dari perjanjian ini, Suku Khuza’ah memilih untuk bernaung di bawah perlindungan Nabi, sementara uku Bakr merapat ke barisan Quraisy. Dua suku ini, yang sejak era jahiliyah telah saling menyimpan dendam dan pertumpahan darah, kini terikat dalam gencatan senjata. Namun, kedamaian itu hanya bertahan sekejap—pengkhianatan mulai berembus dalam gelap.
Suatu malam, Bani Bakr menyerang Khuza’ah di mata air mereka. Tak sekadar balas dendam, serangan ini dilakukan dengan cara licik: Quraisy, yang seharusnya menjaga perdamaian, justru diam-diam menyuplai senjata dan mengirimkan personel. Darah kembali mengalir, dan kezaliman tak bisa lagi dibiarkan.
Beberapa anggota suku Khuza’ah bergegas ke Madinah, mendatangi Rasulullah dengan nafas tersengal dan hati penuh luka. Mereka membawa kabar pengkhianatan yang tak bisa diampuni—perjanjian Hudaibiyah telah dilanggar.
Sejarah telah mempersiapkan jalannya. Dalam hitungan waktu, Makkah akan dibebaskan dengan cara yang tak pernah dibayangkan sebelumnya.
Abu Sufyan dan Diplomasi yang Gagal
Malam itu, Madinah masih dalam ketenangannya, sementara seorang pria dengan langkah gundah memasuki kota. Abu Sufyan, pemimpin Quraisy yang terbiasa memberi perintah, kini harus merendahkan diri. Ia datang bukan dengan barisan pasukan, melainkan dengan beban kesalahan yang tak terbantahkan.
Perjanjian telah dilanggar, dan dia tahu konsekuensinya. Maka, dengan penuh harap, ia menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengajukan permohonan panjang lebar agar perjanjian diperbarui. Namun, yang didapatinya hanyalah kebisuan. Tak ada jawaban, tak ada tanggapan—hanya udara yang makin berat menekan dadanya.
Tak ingin menyerah, Abu Sufyan beralih ke Abu Bakar, lalu kepada Umar, berharap ada secercah bantuan. Namun, jawaban mereka tegas: tidak. Tak satu pun dari mereka bersedia menjadi jembatan baginya. Dunia terasa makin sempit ketika ia akhirnya menemui Ali bin Abi Thalib, tapi Ali pun tak bisa membantunya.
“Demi Allah, aku tidak tahu jalan keluar untukmu,” kata Ali akhirnya. “Tapi engkau adalah pemimpin Bani Kinanah. Bangkitlah, mintalah perlindungan kepada orang-orang, lalu pulanglah.”
Abu Sufyan menatapnya dengan ragu. “Apakah menurutmu itu akan berhasil?”
Ali menghela napas. “Demi Allah, aku pun tidak yakin. Tapi aku tidak punya cara lain untukmu.”
Tanpa pilihan, Abu Sufyan akhirnya berdiri di masjid, suaranya menggema di antara tiang-tiang, “Wahai manusia, aku telah diberi perlindungan oleh kalian!”
Kemudian, dengan hati yang masih dipenuhi kegelisahan, ia menaiki untanya dan beranjak pergi.
Langkah Menuju Pembebasan Makkah
Hari itu, Makkah berdiri dalam diam. Angin yang berembus di antara bangunan-bangunannya seolah membawa firasat besar. Dari kejauhan, debu-debu berterbangan mengiringi langkah 10.000 pasukan yang bergerak dalam barisan rapi. Di bawah komando Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, empat pemimpin perang telah mengambil posisi: Sa’ad bin Ubadah, Khalid bin Walid, Abu Ubaidah bin Al-Jarrah, dan Zubair bin Awwam.
Rasulullah tidak ingin rencana ini bocor ke telinga Quraisy. Segala persiapan dilakukan dengan cermat, pergerakan pasukan dirahasiakan, dan strategi disusun dengan teliti. Beliau ingin Makkah menyerah dengan damai, bukan dalam hiruk-pikuk perlawanan.
Allah pun menutup pandangan orang-orang Quraisy dari pergerakan kaum muslimin. Tidak ada kabar yang sampai ke telinga mereka, tidak ada tanda-tanda bahaya yang mereka sadari. Pasukan muslim melaju tanpa hambatan, dan baru ketika mereka tiba di Marru Zhahran, sebuah lembah tak jauh dari Makkah, barulah penduduk Quraisy tersentak.
Di tengah perjalanan, Rasulullah bertemu dengan pamannya, al-Abbas bin Abdul Muthalib. Ia meninggalkan Makkah dan hijrah sebagai seorang muslim, dengan menunggangi bighal putih milik Rasulullah, Ia mencari salah seorang Quraisy agar meminta jaminan keamanan kepada Rasulullah sebelum beliau memasuki Makkah.
Di sisi lain, Abu Sufyan, pemimpin Quraisy, mengendap-endap dalam kecemasan. Ia ingin mengetahui pergerakan pasukan yang datang. Langkahnya yang gelisah mempertemukannya dengan al-Abbas. Sang paman Rasulullah pun mengajaknya menemui Nabi untuk meminta perlindungan.
Ketika mereka tiba, Rasulullah menatap Abu Sufyan dan bersabda, “Celaka engkau, Abu Sufyan. Bukankah sudah tiba saatnya bagimu untuk mengetahui bahwa tiada ilah yang berhak disembah selain Allah? Bukankah sudah tiba saatnya bagimu untuk mengetahui bahwa aku adalah utusan Allah?”
Al-Abbas menimpali, “Celaka engkau jika masih juga menolak Islam.”
Langit seperti berhenti sejenak, menanti keputusan Abu Sufyan. Akhirnya, ia mengucapkan syahadat dengan tulus. Maka, Rasulullah memuliakannya dengan sebuah jaminan:
“Siapa yang masuk ke dalam rumah Abu Sufyan, maka dia aman.” (HR. Muslim, Kitabul Jihad, 1780).
Dengan jaminan itu, Abu Sufyan bergegas kembali ke kaumnya. Sesampainya di Makkah, suaranya menggema, “Wahai orang-orang Quraisy! Ini Muhammad. Ia telah datang kepada kalian dengan pasukan yang tidak akan sanggup kalian lawan!”
Mendengar itu, kepanikan merayap ke seluruh penjuru kota. Orang-orang Quraisy berlarian ke rumah-rumah mereka, mencari perlindungan di masjid, sementara di luar sana, pasukan kaum muslimin memasuki Makkah dari segala penjuru.
Di atas tunggangannya, Rasulullah memasuki kota suci itu dengan penuh ketawaduan, tidak ada kesombongan, tidak ada dendam; hanya rasa syukur kepada Allah, Sang Maha Pemilik kemenangan.
Sejarah sedang menuliskan tinta emasnya, dan hari itu Makkah kembali ke pangkuan Islam. Bukan dengan amukan pedang atau gelegar panah. Tak ada kehancuran yang mengikuti jejak pasukan muslim. Rasulullah telah menetapkan garis yang jelas—Makkah tidak akan jatuh dengan darah, tetapi dengan rahmat. Selama kaum Quraisy tidak menghunus senjata, tak satu pun penduduknya boleh disakiti.
Sejarah mencatat momen ini sebagai pembebasan yang penuh kemuliaan. Kota yang dahulu mengusir Nabi, kini menyambutnya kembali dalam kemenangan yang tidak ditandai oleh kemarahan, melainkan pengampunan.
Editor: Nauval Pally Taran