close
KesehatanRagam

Kampanye Ekstrem Makanan Berbasis Tanaman, Melawan Fitrah Biologis Ribuan Tahun Manusia

Sumber Foto Ilustrasi: Pixabay

Penulis: M. Haris Syahputra

Gelombang kampanye makanan berbasis tanaman (plant-based food) makin lantang, seolah, daging bukan lagi kebutuhan, melainkan pilihan yang bisa dengan mudah ditinggalkan begitu saja. Dengan dalih kesehatan, kelestarian lingkungan, dan kesejahteraan hewan, kita seakan perlu membayangkan dunia tanpa daging dan menuju era protein dikemas dalam bubuk, daging disintesis di laboratorium, dan peternakan tergantikan oleh pabrik pangan.

“Manusia hanya butuh protein, bukan daging,” merupakan narasi dari kampanye besar-besaran itu. Akan tetapi, apakah tubuh manusia benar-benar bisa mendapatkan nutrisi yang sama tanpa daging?

Apakah industri pengganti daging benar-benar lebih berkelanjutan atau hanya menjual mimpi hijau yang dikemas rapi? Dan yang lebih penting, siapa yang sebenarnya diuntungkan jika dunia beralih ke makanan berbasis tanaman.

Kita Butuh Protein, Bukan Daging

Kampanye pola makan berbasis tanaman membawa pesan sederhana: manusia hanya butuh protein, bukan daging. Seolah-olah nutrisi dari daging bisa digantikan begitu saja tanpa konsekuensi. Padahal, realitasnya tidak sesederhana itu. Daging tidak hanya mengandung protein, tetapi juga mengandung vitamin B-12, zat besi heme, dan asam amino esensial yang sulit atau bahkan mustahil diperoleh dari sumber nabati tanpa suplemen tambahan.

Faktanya, vegan dan vegetarian masih bergantung pada produk fortifikasi (pangan yang diberi tambahan zat gizi esensial) untuk memenuhi kebutuhan gizi. Ini tentu menimbulkan pertanyaan besar: jika pola makan ini benar-benar alami, mengapa tubuh manusia tetap membutuhkan suplemen?

Penelitian dalam American Journal of Clinical Nutrition menunjukkan bahwa defisiensi zat besi dan vitamin B-12 lebih umum terjadi pada vegan dibandingkan pada omnivor. Artinya, penghapusan daging dari pola makan bukan hanya perubahan gaya hidup, melainkan juga eksperimen biologis yang berisiko.

Bisnis Besar di Balik Tren Makanan Nabati

Di balik promosi pola makan berbasis tanaman, ada kepentingan korporasi yang jarang dibahas. Perusahaan-perusahaan produsen makanan nabati, seperti Beyond Meat dan Impossible Foods bukan sekadar inovator, melainkan juga pemain dalam industri miliaran dolar yang mencoba mendikte pola makan global. Mereka tak hanya menjual produk, tetapi juga melobi regulasi, mendanai kampanye media, dan memengaruhi kebijakan pangan.

Transisi ini bukan hanya soal kesehatan atau lingkungan, melainkan pergeseran kekuatan ekonomi. Jika daging tergantikan, peternak kecil dan komunitas agraris yang menggantungkan hidupnya pada peternakan akan kehilangan mata pencaharian. Sebaliknya, segelintir perusahaan makanan berbasis tanaman akan mendominasi pasar dengan produk mahal yang sering kali lebih diproses (ultra-processed foods) dibandingkan daging asli. Pada akhirnya, mereka hanya beralih dari satu oligopoli (komoditas dikuasai oleh beberapa perusahaan) ke oligopoli lain.

Benarkah Plant-Based Food Lebih Ramah Lingkungan?

Klaim protein nabati lebih ramah lingkungan pun perlu dikritisi. Buktinya, produksi kedelai dan kacang-kacangan dalam skala industri telah menyebabkan deforestasi besar-besaran di Brasil dan Argentina, mirip dengan yang dituduhkan pada industri sawit selama ini. Data dari Global Forest Watch juga menunjukkan bahwa ekspansi kedelai telah mengakibatkan deforestasi nyaris sebesar satu juta hektare di Bolivia.

Selain itu, pertanian monokultur yang menopang industri makanan berbasis tanaman jelas akan merusak kesuburan tanah, meningkatkan ketergantungan pada pupuk sintetis dan pestisida, serta mengancam biodiversitas. Sebaliknya, merujuk pada Rainforest, peternakan regeneratif mampu menyerap karbon dari atmosfer dan memperbaiki ekosistem tanah. Artinya, mengganti daging dengan protein nabati bukan solusi lingkungan seperti yang digadang-gadang.

Anti Daging = Melawan Fitrah

Sejak awal peradaban, manusia adalah omnivor. Pola konsumsi daging bukan hanya soal preferensi, melainkan juga bagian dari fitrah biologis. Selain itu, daging memiliki nilai kultural dan spiritual dalam banyak tradisi. Dalam Islam sendiri, konsumsi daging merupakan bagian dari ajaran keagamaan. Jadi, menghapus daging bukan sekadar keputusan enteng, melainkan perubahan sosial yang mengabaikan sejarah, nilai-nilai tradisional, agama, dan hubungan manusia dengan alam.

Pola makan berbasis tanaman sepenuhnya juga tidak mencerminkan keseimbangan ekologis yang telah terbentuk selama ribuan tahun. Manusia diciptakan dalam ekosistem yang kompleks. Hewan dan tumbuhan memiliki peran masing-masing terhadap bumi dan manusia. Menghilangkan konsumsi daging secara total berarti mengintervensi sistem alamiah yang telah berjalan seimbang sejak dulu.

Ancaman PHK Massal dan Monopoli Industri Pangan

Di luar aspek kesehatan dan lingkungan, transisi penuh ke pangan berbasis tanaman juga memiliki konsekuensi ekonomi yang serius. Jika industri daging tergantikan oleh protein nabati dalam skala industri, dampaknya bisa sangat masif. Jutaan peternak, pekerja rumah potong, hingga petani yang menggantungkan hidup pada sektor peternakan akan kehilangan mata pencaharian.

Selain itu, industri makanan berbasis tanaman cenderung lebih mudah diotomatisasi, yang berarti lebih sedikit tenaga manusia yang dibutuhkan dalam rantai produksinya. Di tengah ancaman kecerdasan buatan dan robotisasi yang makin menggerus lapangan kerja di banyak sektor, penghapusan sektor peternakan hanya akan mempercepat terjadinya pengangguran massal di banyak negara yang selama ini bergantung pada peternakan sebagai pilar ekonomi.

Memang, mengurangi konsumsi daging bisa menjadi langkah baik bagi sebagian orang, tetapi menggantinya sepenuhnya dengan protein nabati bukanlah solusi yang masuk akal. Jika kita benar-benar peduli terhadap kesehatan, lingkungan, dan keadilan ekonomi, ekstremisme pangan yang hanya menguntungkan segelintir pihak bukanlah pilihan yang harus kita tempuh.


Editor: Teuku Zulman Sangga Buana

Tags : animalgizihewankesehatanmanusiamasa depan manusiaproteinsejarahtumbuhan

The author Redaksi Sahih