close
Ragam

Ratusan Tahun Merawat Tradisi Meugang

Sumber Foto: alimtiaz

Penulis: M. Haris Syahputra

Langit masih temaram saat aktifitas di pasar mulai berderu. Pisau-pisau beradu di atas balok kayu, darah mengalir membasahi tanah dan bau anyir segera menyeruak di langit-langit pagi.

Hari itu, pasar tidak hanya menyuguhkan daging segar, tapi juga dua wajah kehidupan yang kontras berbeda. Mereka yang datang lebih awal untuk mendapatkan potongan terbaik, dan mereka yang baru muncul saat matahari meninggi untuk mendapatkan harga yang lebih terjangkau.

“Gak enak rasanya kalau anak-anak nggak ikut meugang,” ujar Herlina sambil menghela napas panjang.

Bagi masyarakat Aceh, meugang bukan sekadar makan daging, tetapi warisan kebersamaan yang diwariskan turun temurun. Meugang lebih dari sebatas tradisi kuliner, ia merupakan simbol solidaritas yang sudah berusia ratusan tahun.

Meugang itu wajib. Rasanya aneh kalau tidak makan daging di hari meugang,” tambah Herlina. Ia mengaku, setiap kali menjelang meugang, mereka harus mempersiapkan dana khusus untuk merayakannya meskipun harga daging melonjak tinggi.

Warisan Sejak Zaman Kesultanan

Meugang memiliki akar sejarah yang kuat. Konon, tradisi ini sudah ada sejak masa Kesultanan Aceh. Sultan Iskandar Muda dikisahkan membagikan daging kepada rakyatnya menjelang bulan suci Ramadan dan dua hari raya. Tradisi ini kemudian berkembang menjadi bagian dari identitas masyarakat Aceh, tidak hanya sebagai bentuk perayaan tetapi juga sebagai simbol pemerataan kesejahteraan.

Sejarawan Ali Hasjimy mencatat bahwa pada masa Kesultanan Aceh, meugang bukan sekadar perayaan rakyat, tetapi juga agenda resmi kerajaan. Sultan, menteri, para pembesar kerajaan, serta ulama berkumpul di istana untuk melaksanakan tradisi ini. Tidak hanya itu, sultan juga memerintahkan pembagian daging, pakaian, dan beras kepada fakir miskin serta duafa melalui Balai Fakir.

Pendanaan untuk kegiatan sosial ini sepenuhnya ditanggung oleh bendahara Silatu Rahim, lembaga yang bertanggung jawab atas hubungan antara negara dan rakyat di Kesultanan Aceh Darussalam. Melalui sistem ini, meugang tidak hanya menjadi simbol kemakmuran, tetapi juga wujud nyata dari nilai-nilai kebersamaan dan kesejahteraan sosial yang dijaga oleh pemerintahan pada masa itu.

Euforia di Pasar dan Dapur

Saat meugang tiba, pasar-pasar di Aceh menjadi lebih ramai dari biasanya. Masyarakat berbondong-bondong membeli daging sapi atau kerbau meskipun harganya melambung tinggi. Tak jarang, mereka rela merogoh kocek lebih dalam demi merawat tradisi ini.

Cut Herlina, seorang ibu rumah tangga di Banda Aceh, mengaku sudah terbiasa menghadapi kenaikan harga daging menjelang meugang. “Mau mahal pun tetap harus beli. Kalau tidak, rasanya seperti tidak ikut merayakan hari besar,” katanya sambil tersenyum. Ia bersama keluarga biasanya memasak kuah beulangong, semacam kari daging khas Aceh yang biasa dimasak dalam kuali besar.

Pada hari meugang, aktivitas memasak mulai bergeliat sejak pagi. Aroma masakan yang khas merebak ke seluruh penjuru rumah. Setelah matang, hidangan meugang akan dinikmati bersama keluarga, tetangga, hingga para tamu yang datang berkunjung.

Tantangan di Era Modern

Namun, tidak semua masyarakat bisa menikmati meugang dengan leluasa. Kenaikan harga daging yang tidak terkendali menjadi salah satu tantangan utama dari waktu ke waktu. Tahun ini, harga daging sapi di beberapa pasar Aceh mencapai Rp180 ribu per kilogram, naik signifikan dari hari biasa yang hanya berkisar di harga Rp120 – 130 ribu per kilogram.

Selain faktor ekonomi, modernisasi juga menjadi tantangan bagi pelestarian tradisi ini. Generasi muda di perantauan dan yang tinggal di perkotaan mulai kehilangan keterikatan dengan meugang. Berbeda dengan generasi sebelumnya yang menganggapnya sebagai perayaan yang dinanti, bagi sebagian anak muda sekarang, keistimewaan meugang berangsur parau.

Hal ini dipengaruhi oleh intensitas makan daging yang lebih sering sepanjang tahun dibandingkan tempo dulu. Misalnya, Yasir, seorang pegawai asuransi di Banda Aceh, mengaku sudah jarang ikut tradisi meugang di rumah. “Biasanya saya beli steak di kafe atau pesan daging dari aplikasi. Jadi nggak terlalu ngikutin lagi,” ujarnya.

Pada akhirnya, Meugang bukan hanya tentang makan daging, tetapi juga tentang bagaimana masyarakat Aceh menjaga solidaritas, kebersamaan, dan nilai-nilai budayanya.

“Biar pun cuma sedikit, yang penting ada meugang. Kalau ini hilang, Aceh kehilangan salah satu jiwanya,” tutup Herlina.

Akan tetapi, di tengah harga daging yang terus melambung dan kebiasaan masyarakat yang kian berubah, akankah meugang menjadi warisan yang terus lestari, atau hanya tinggal cerita dalam beberapa dasawarsa lagi?

Editor: Nauval Pally Taran

Tags : acehbanda acehbudayadagingidul fitrikebudayaanlebaranmasyarakatmeugangpuasaramadansejarahtradisi

The author Redaksi Sahih