Penulis: Misbah
Bayangkan layar ponsel Anda sebagai sebuah hutan lebat berisi jutaan potongan informasi: berita, video pendek, foto, dan notifikasi tanpa henti. Di balik setiap geseran jari, ada suara gemerisik algoritme yang membisikkan: “Lihat ini…,” “Jangan sampai ketinggalan…”—hingga tanpa sadar Anda terhisap semakin jauh, menelusuri satu konten demi konten yang seringkali justru meninggalkan rasa cemas atau kekosongan.. Begitulah doomscrolling bekerja: menarik Anda masuk lebih dalam, hingga menyisakan kecemasan dan kelelahan.
Apa Itu Doomscrolling?
Doomscrolling bukan sekadar membaca berita; ini adalah kebiasaan terperangkap dalam siklus konten negatif. Menurut Harvard Health, paparan terus-menerus pada laporan traumatis mengaktifkan sumbu HPA di otak, memicu lonjakan hormon kortisol, dan melemahkan ketahanan emosional. Tindakan geser layar demi layar menjadi refleks tubuh dalam merespon potensi ancaman, meski ancaman tersebut hanya berita di balik kaca.
Dalam jangka pendek, doomscrolling memicu stres akut—detak jantung meningkat, otot menegang, dan perasaan gelisah menyergap. Jika diulangi setiap hari, stres ini bisa berkembang menjadi kecemasan kronis. American Psychological Association mencatat bahwa mereka yang sering terpaku pada kabar buruk berisiko lebih tinggi mengalami gangguan kecemasan.
Selain itu, Mayo Clinic mengungkap bahwa membaca berita negatif sebelum tidur dapat memicu insomnia. Bayangkan menutup mata dengan pikiran dipenuhi laporan berita buruk dan menjijikkan—tidak heran tidur menjadi terganggu.
Rentang Perhatian yang Kian Menyusut
Rentang perhatian manusia modern kini mencapai rata-rata delapan detik, menurut studi terbaru. Media sosial memanfaatkan kecenderungan ini dengan sajian konten singkat—video berdurasi beberapa detik, berita ringkas, hingga judul clickbait yang memicu rasa penasaran instan. Setiap kali kita tergoda berpindah layar, otak kehilangan ritme konsentrasi. Tugas yang memerlukan pemikiran mendalam menjadi terganggu, ide kreatif terhenti, dan perasaan frustrasi muncul karena seolah tidak pernah cukup waktu menyelesaikan hal bermakna.
Ketika hutan kabut terlihat pekat, digital minimalism hadir sebagai lentera. Cal Newport memperkenalkan konsep ini sebagai cara menyederhanakan kehidupan digital.
Pertama, tinjau setiap aplikasi di layar utama: hanya pertahankan yang mendukung nilai dan tujuan Anda. Aplikasi berita viral, media sosial tanpa tujuan jelas, atau game yang menghabiskan waktu bisa dihapus.
Kedua, kendalikan notifikasi. Matikan bunyi dan getar untuk pesan non-urgent agar Anda tidak terusik oleh gangguan kecil.
Ketiga, terapkan jeda layar terjadwal: sisihkan 20 hingga 30 menit setiap dua jam untuk aktivitas non-digital seperti membaca buku fisik, berjalan di taman, atau menulis jurnal.
Keempat, sediakan satu hari bebas layar dalam sepekan—gunakan waktu itu untuk bersosialisasi langsung, berolahraga, atau berkegiatan kreatif tanpa ponsel.
Banyak orang melaporkan perubahan signifikan setelah menjalankan prinsip digital minimalism. Fokus yang sebelumnya mudah terpecah kembali menguat, memungkinkan penyelesaian proyek panjang seperti menulis artikel atau belajar bahasa baru. Ide-ide kreatif mengalir lebih leluasa.
Penelitian yang dipublikasikan di Harvard Business Review menemukan bahwa jeda mikro terstruktur dapat meningkatkan produktivitas hingga 30 persen. Lebih penting lagi, tingkat stres menurun, kecemasan terkendali, dan kualitas tidur meningkat karena otak diberi ruang untuk memulihkan diri dari rangsangan digital.
Dengan layar ponsel yang telah dirapikan, Anda tidak lagi tersesat di hutan kabut. Setiap ikon pada layar menjadi jalan yang jelas menuju tujuan: aplikasi produktivitas untuk menyelesaikan pekerjaan, platform edukasi untuk memperdalam wawasan, dan sumber berita kredibel untuk mengikuti perkembangan terpenting.
Notifikasi hanya muncul ketika benar-benar dibutuhkan. Anda dapat merespon dengan tenang: apakah layar ini membawa Anda lebih dekat pada tujuan, atau hanya mengulangi pola doomscrolling yang melelahkan?
Dengan mengadopsi digital minimalism, kita membebaskan diri dari jeratan kabut informasi. Fokus kembali menemukan pijakan, kreativitas berkembang tanpa beban, dan kesehatan mental terjaga.
Hutan lebat itu berubah menjadi taman teratur, di mana setiap langkah diatur dengan sadar—membimbing kita menapaki jalan menuju mimpi yang selama ini tertunda.
Editor: Ibnu Amirul