close
Resonansi

Masyarakat Modern yang Kelelahan

Sumber Foto Ilustrasi: Pixabay

Penulis: Misbahul

Kita hidup di dunia tanpa jeda: lampu kota yang tak padam, ponsel menyala sepanjang malam, dan beban harian yang terasa makin berat. Ibarat tubuh yang dipaksa berlari tanpa henti, tubuh kita sesak oleh rasa kelelahan kolektif yang tak kunjung berakhir.

Budaya yang menuntut kita untuk selalu berlari lebih cepat, mengoleksi pencapaian demi pencapaian. Meminjam istilah Byung-Chul Han, seorang filsuf Jerman, keadaan masyarakat yang seperti ini disebut sebagai masyarakat kelelahan (burnout society)—masyarakat pencapaian yang terus-menerus menjerat diri sendiri dengan utang prestasi sehingga kita tertatih-tatih dalam perlombaan yang tak berujung.

World Health Organization (WHO) dalam artikel berjudul “Burn-out an Occupational Phenomenon” mendefinisikan burnout sebagai sindrom akibat stres kerja kronis yang tidak berhasil diatasi. Gejalanya meliputi kelelahan energi, sikap sinis terhadap pekerjaan, dan penurunan efikasi profesional. Prevalensi burn‑out secara global pada tahun 2022 diperkirakan berkisar pada angka 26%-30%, dengan variasi antar-kawasan, sekitar 15–16% di Eropa dan 23–30% di Asia, berdasarkan berbagai studi. Di Asia Tenggara sendiri, beberapa penelitian bahkan menemukan angka prevalensi burnout yang jauh lebih tinggi, mencapai lebih dari 62%..

Akar masalahnya terletak pada kultur eksploitasi diri (self-exploitation) dan logika kinerja yang berlebihan. Perkembangan teknologi telah mengaburkan batas antara kerja dan kehidupan pribadi: pos-el dan notifikasi terus memburu kita ke ruang tamu, ruang makan, kamar tidur, bahkan hingga kamar mandi.

Seiring waktu, tekanan produktivitas memaksa banyak perusahaan menerapkan jam kerja tanpa batas, mendorong karyawan bekerja tanpa jeda. Kita terseret dalam perlombaan angka: presentasi, kuota, dan rapor kinerja tak pernah habis diperbarui. Target-target tak realistis itu membuat kita mengeksploitasi diri sendiri. Han menggambarkan fenomena ini dengan gamblang: kita telah menjadi masyarakat penghargaan (achievement society) yang mengeksploitasi diri sendiri hingga terbakar.

Budaya Multitugas dan Ketiadaan Waktu Kontemplasi

Di samping itu, budaya multitugas (multitasking) diidealkan sebagai keahlian baru: sibuk berarti produktif. Pada kenyataannya, riset membuktikan otak manusia tak sebaik yang kita kira dalam menangani banyak tugas sekaligus. Saat berpindah-pindah tugas secara cepat, fokus kita malah terpecah dan kinerja menurun. Alih-alih efisien, multitugas justru menguras produktivitas dan konsentrasi.

Budaya pencapaian ini menyanjung multitugas. Padahal, aktivitas terus-menerus itu hanya mengaktifkan mode kewaspadaan yang melelahkan. Layar gawai pun menjadi kompangan (pembacaan selawat dengan iringan gendang) kita. Hiburan digital dan gim video menghadirkan perhatian luas, tetapi kewaspadaan tak henti seperti binatang liar yang terus-terusan terjaga.

Dampaknya nyata ke dalam diri kita. Insomnia kini seperti epidemi: nyaris seperempat orang dewasa mengaku pernah terbangun setiap malam karena pikiran yang tak kunjung padam. Kurang tidur membuat otak mengabur, konsentrasi melemah, dan risiko kesalahan meningkat. Lebih dari itu, kecemasan dan depresi merajalela dalam masyarakat kerja keras.

WHO mencatat depresi dan kecemasan menyedot produktivitas global hingga 1 triliun dolar Amerika per tahun karena kehilangan hari kerja (“Mental Health at Work”). Kelelahan modern ini kerap berujung pada burnout dan keputusasaan, membuat kita merasa tak pernah cukup melakukan apa pun.

Rela bergadang menambal tenggat, kita pun mulai melupakan manusia di sekitar. Interaksi tatap muka tergantikan pesan digital; ikatan antarindividu kian renggang. Studi menunjukkan penurunan empati pada masyarakat modern berkaitan langsung dengan retaknya hubungan sosial dan meningkatnya konflik.

Solidaritas lokal juga memudar: tetangga jarang duduk bersama, sibuk asyik dengan gadget masing-masing. Bahkan, Han menggambarkan efeknya dengan sinis: budaya pencapaian menghasilkan pemisahan ironis dari komunitas dan solidaritas. Kita kehilangan rasa kebersamaan, sementara individualisme justru memuncak.

Lebih jauh, kita kehilangan ruang senyap untuk berdiam. Tak ada waktu untuk kontemplasi atau doa yang mendalam. Kita seakan terlempar ke tanah kosong tak berpenghuni—nyaman secara materi, tetapi tanpa tempat untuk ketenangan batin. Hari-hari berlalu seperti mesin; tak ada yang sempat dirayakan atau disyukuri.

Padahal, perayaan autentik memerlukan ruang kontemplasi di dalamnya. Saat jeda pun diisi pesan dan layar. Kesempatan beristirahat, merenung, atau sekadar menikmati kebahagiaan sederhana kian langka.

Jalan Keluar

Untungnya, kita bisa membuka jalan keluar. Ada ruang pemulihan di tengah kepungan kerja. Pertama, praktik kontemplatif seperti ibadah sangat membantu: sebuah riset menyebut dapat mencegah dan meringankan stres, depresi, serta kecemasan sekaligus memperbaiki kualitas tidur.

Mengalokasikan 10—15 menit untuk hening, berdoa, atau meresapi bacaan zikir sudah cukup untuk menumbuhkan ketenangan batin. Kedua, cobalah jam-jam tanpa gawai: detoks digital. Mengurangi waktu di depan layar sambil beralih ke interaksi langsung dapat memperkuat empati dan kebersamaan. Saat kita berbicara langsung, kita mengingat esensi kemanusiaan yang nyaris hilang.

Selanjutnya, tetapkan batas produktivitas yang manusiawi. Ingatlah, istirahat adalah hak, bukan kemewahan. Regulasi jam kerja ada untuk melindungi kita. Namun, masih banyak perusahaan yang menerapkan kerja tanpa batas, membuat kebiasaan lembur merampas waktu istirahat.

Memulihkan keseimbangan kerja-hidup menjadi perlawanan kolektif terhadap ekspektasi tanpa henti. Pada saat yang sama, bangun kembali semangat solidaritas lokal. Bergotong-royong membantu tetangga menyelesaikan tugas, berkumpul di warung kopi untuk saling berbagi cerita, atau sekadar berinteraksi dengan sesama bisa menumbuhkan kembali energi positif yang nyaris hilang.

Pada akhirnya, dunia yang terus berlari ini memang tak akan menunggu siapa pun. Kita boleh berambisi, berlari, bahkan terengah-engah, tapi kita juga perlu tahu kapan harus diam, menarik napas, dan kembali menjadi manusia seutuhnya.

Sebab dalam kelelahan yang tak henti, sesungguhnya bukan kemenangan yang menanti, melainkan kehilangan: kehilangan diri, kehilangan makna, kehilangan hidup itu sendiri. Menyisakan ruang untuk hening, untuk berserah, untuk saling menggenggam tangan, mungkin adalah satu-satunya cara agar kita tetap utuh, tetap bernapas, tetap manusia di tengah zaman yang memburu habis segalanya.

Editor: Teuku Zulman Sangga Buana

Tags : berita internasionalbisnisbudayabumiduniaekonomiglobalindustriinternasionalkapitalismekebudayaanmanusiamasyarakatmodernsainssorotanteknologitrending

The author Redaksi Sahih