SAHIH.CO, BANDA ACEH – Kedatangan para pengungsi Rohingya yang masif ke wilayah Aceh mencerminkan ketidakamanan yang masih dihadapi oleh kelompok etnis ini. Kekerasan struktural yang terus berlangsung selama beberapa dekade di Rakhine, Myanmar, telah memaksa warga Rohingya untuk berlayar dalam upaya mencari kediaman yang layak, baik di kawasan Asia Tenggara maupun di belahan dunia lainnya.
Dalam upaya tersebut, para pengungsi ini tidak hanya berhadapan dengan risiko tenggelam di perairan laut, tetapi juga seringkali menghadapi penahanan dan perlakuan tidak wajar di negara-negara transit maupun penerima. Hingga Desember 2023, sekitar 1.600 pengungsi Rohingya tersebar di berbagai wilayah di Aceh, termasuk Kota Sabang, Pidie, Aceh Besar, dan Lhokseumawe. Selain itu, mereka juga tersebar di Malaysia dan Thailand.
Jika mendalami asal-usul etnis Rohingya, kita menemukan sejarah panjang mereka di negara bagian Arakan/Rakhine yang dimulai sejak abad ke-7 Masehi (788 M). Etnis ini diidentifikasi sebagai hasil percampuran beragam suku, seperti Arab, Turk, Persian, Afghan, Bengali, Moors, Mughal, Pathans, Maghis, Chakmas, Belanda, Portugis, dan Indo-Mongoloid. Pemukiman Muslim di Arakan berkembang pesat terutama selama masa pemerintahan Kerajaan Mrauk U, terutama pada pemerintahan Raja Narameikhla (1430–1434).
Sejarah kemudian mencatat bahwa dengan berkuasanya Narameikhla, penduduk Muslim dari Bengal mulai bermigrasi ke wilayah Arakan. Jumlah mereka terus bertambah, terutama selama penguasaan Inggris di Rakhine, di mana banyak orang Bengali dibawa ke wilayah tersebut untuk bekerja sebagai petani. Melalui sensus pada tahun 1911 yang dilakukan Inggris, tercatat bahwa jumlah pemukim muslim di Arakan telah mencapai 58 ribu orang.
Burma (sekarang Myanmar) merdeka pada tahun 1948, dan sejak saat itu, pemerintah menganggap Rohingya sebagai keturunan Bengali serta menolak untuk mengakui mereka sebagai etnis dan warga negara Myanmar. Situasi kian gaduh ketika Jenderal Ne Win naik ke tampuk kekuasaan pada tahun 1962. Pemerintah militer yang baru, membubarkan organisasi-organisasi sosial dan politik Rohingya. Pada tahun 1974, kewarganegaraan Rohingya dicabut, dan pada tahun 1982, Peraturan Kewarganegaraan Myanmar menyatakan mereka sebagai “non-national” di tanah mereka sendiri.
Meskipun Undang-Undang Kewarganegaraan Myanmar 1982 mengakui berbagai kelompok etnis di Myanmar, namun Rohingya tidak termasuk sebagai salah satu dari 135 kelompok etnis tersebut. Akibatnya, Rohingya kehilangan hak-hak dasar sebagai warga negara.
Konflik Sektarian
Melansir dari Kompas, konflik Sektarian di Myanmar tumbuh sebagai hasil dari berbagai faktor, termasuk campur tangan negara dan ketegangan sosial, terutama di kota Meiktila, di samping Arakan. Di mana mayoritas Muslim Rohingya di sana berprofesi sebagai pedagang dan pebisnis dan cukup berhasil mendominasi perekonomian.
Simbol 786 sering ditemukan di kedai-kedai mereka, dan itu mencerminkan praktik keagamaan, menggantikan kalimat bismillah yang menandakan bahwa tempat tersebut menjual makanan halal. Sayangnya, simbol ini kemudian disalahartikan oleh kelompok ekstremis Buddha, yang menyebarluaskan isu bahwa Islam di Myanmar merupakan ancaman bagi keberlanjutan Agama Buddha. Ada ketakutan bahwa Myanmar akan mengalami perubahan dengan memiliki mayoritas penduduk muslim.
Ketegangan sosial ini menjadi pemicu konflik dengan penduduk Rohingya yang kemudian makin meruncing ketika kelompok ekstremis Buddha membentuk gerakan 969 di bawah pimpinan biksu Wirathu. Provokasi yang dilancarkan oleh kelompok ini memicu kerusuhan di Meiktila pada tanggal 25 Maret 2013. Parahnya, Gerakan 969 tidak hanya menargetkan eksistensi Rohingya di Arakan, tetapi juga seluruh umat Islam di Myanmar. Lebih dari 400 Muslim tewas dalam kerusuhan tersebut. Banyak pula yang melarikan diri mencari perlindungan di wilayah Asia Tenggara.
Sikap pemerintah yang menolak mengakui Rohingya sebagai warga negara Myanmar menjadi faktor utama yang memperpanjang konflik ini. Tanpa pengakuan tersebut, warga Rohingya kehilangan hak dasar sebagai warga negara, termasuk hak tempat tinggal, pekerjaan, dan kesejahteraan. Situasi ini bahkan menyebabkan Badan Pengungsi Dunia (UNHCR) mengklasifikasikan Rohingya sebagai etnis minoritas yang paling teraniaya di dunia.
Rohingya dan Aceh
Gelombang pengungsi Rohingya mulai terdampar di Aceh sejak tahun 2015. Dalam rentang waktu 2020-2022, sebanyak 1.152 pengungsi tiba di Aceh. Namun, dalam dua bulan terakhir, jumlah pengungsi mengalami peningkatan signifikan. Antara 14 November hingga 14 Desember 2023, sebanyak 10 kapal yang membawa 1.595 pengungsi berhasil mendarat di Aceh. Hendrik Therik, Assistant Protection Officer UNHCR Indonesia, mengungkapkan bahwa tren kedatangan pengungsi cenderung meningkat menjelang akhir tahun. Salah satu faktor utama diduga berasal dari situasi sulit di Cox’s Bazar, sebagaimana diberitakan oleh Tempo.
Cox’s Bazar, sebuah distrik perbatasan di Bangladesh, menjadi tempat perlindungan bagi lebih dari 1 juta pengungsi etnis muslim Rohingya yang melarikan diri dari penindasan militer di Myanmar pada tahun 2017. Pada tahun ini saja, UNHCR mencatat 1.400 laporan kejahatan, mulai dari penculikan hingga pembunuhan terjadi di Cox`s Bazar. Dan parahnya, pada bulan Maret 2023 kebakaran besar melanda Camp 11 di Cox’s Bazar yang menghancurkan 2.000 tenda dan membuat 12 ribu pengungsi kehilangan tempat tinggal. UNHCR melaporkan bahwa setidaknya 90 fasilitas, termasuk rumah sakit dan pusat pembelajaran turut terbakar. Hendrik menyatakan bahwa situasi di Cox’s Bazar tidak kondusif lagi untuk sebuah kehidupan normal.
Selain itu, faktor lain yang memengaruhi adalah pemotongan dana dari donor kepada lembaga-lembaga penyalur bantuan, seperti World Food Programme. Pemotongan ini berdampak pada pengurangan jatah makanan bagi para pengungsi di seluruh dunia, termasuk di Cox’s Bazar. Hendrik menyampaikan bahwa dengan bantuan yang terbatas, banyak pengungsi mencari peluang hidup di tempat lain.
Penting untuk dicatat bahwa tujuan para pengungsi Rohingya tidak hanya Aceh. Banyak di antara mereka mencoba masuk ke Thailand melalui jalur darat, sementara jika melalui jalur laut, tujuannya adalah Malaysia dan Indonesia. Kepastian tujuan ini hanya diketahui oleh agen perjalanan ilegal yang oleh UNHCR dianggap sebagai penyelundup manusia. Para agen ini meminta bayaran antara Rp 6 juta hingga Rp 14 juta untuk membawa pengungsi melalui jalur laut. Beberapa dari mereka menawarkan janji tempat tinggal baru, sementara ada juga yang hanya menjanjikan keluar dari Cox’s Bazar.
Nahasnya, kehadiran pengungsi Rohingya di Aceh tidak selalu disambut baik. Sejak kedatangan kapal yang membawa 214 orang Rohingya ke Desa Meunasah Dua Pasi, Kecamatan Jangka, Kabupaten Bireuen, pada 15 November 2023, muncul penolakan terhadap mereka. Warga setempat awalnya memberikan bantuan, tetapi kemudian mengusir mereka kembali ke laut.
Penolakan ini kemudian terulang di Desa Ulee Madon, Kecamatan Muara Batu, Kabupaten Aceh Utara, kapal yang membawa pengungsi Rohingya kembali ditolak setelah diberi bantuan. Kepala Desa Ulee Madon, Rahmat Kartolo, menyatakan bahwa warga menolak karena pengalaman sulit menertibkan pengungsi sebelumnya yang tidak menghormati kearifan lokal dan kemungkinan akan kabur dari penampungan.
Pemerintah daerah, diwakili oleh Sekretaris Daerah Aceh Utara A. Murthala, menyatakan kesulitan menghadapi tuntutan masyarakat yang menolak pengungsi Rohingya karena keterbatasan dana dan lokasi untuk menampung mereka. Kendati demikian, UNHCR Indonesia mengingatkan bahwa Indonesia memiliki kewajiban memberikan perlindungan kepada pengungsi berdasarkan Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri.
Pewarta: M. Haris Syahputra
Editor: Nauval Pally Taran