close
Opini

Menyoal Demokrasi Kita

Sumber Foto Ilustrasi: Pixabay

Konon, kebanyakan manusia secara umum menggambarkan bahwa demokrasi adalah sistem pemerintahan  terbaik yang dimiliki umat manusia saat ini. Sebagai sistem terbaik, orang-orang melihat bahwa demokrasi akan mampu mencapai nilai substansial yang dikejar oleh demokrasi itu sendiri, semisal keadilan.

Namun, banyak orang tidak menyadari bahwa mekanisme demokrasi itu sendirilah yang menciptakan hal-hal kontraproduktif dalam dirinya sehingga demokrasi tidak dapat mencapai nilai substansi yang dikejarnya. Bahkan, demokrasi sering kali dihadapkan pada banyak problematika yang berakhir dengan kegagalan sistemis. Di tempat lahirnya, demokrasi mendapatkan banyak kritik dari para cerdik pandai.

Aristoteles (384—322 SM), misalnya, melukiskan demokrasi dengan tinta hitam sebagai pemerintahan massa yang dalam kacamatanya merupakan sebuah sistem pemerintahan yang lemah terhadap banyak hal karena pemerintahan dijalankan oleh mayoritas orang yang tidak memiliki kebijaksanaan. Sistem ini juga dekat dengan anarkisme karena keputusan dibuat oleh sekelompok orang yang dipengaruhi oleh kepentingan pribadi (oligarki).

Sebelumnya, Plato (427—348 SM) melontarkan kritik mayor terhadap demokrasi. Dalam The Republic, ia menyebut demokrasi yang berdiri di bawah bendera liberalisasi dan kebebasan mutlak hanya akan membawa pada kehancuran. Kebebasan yang tidak disertai tanggung jawab akan membuat setiap manusia merasa berhak mengatur diri sendiri dan berbuat sekehendaknya, yang pada akhirnya bermuara pada chaos (anarki) dan turunnya moralitas.

Dari Mana Demokrasi Kita?

Demokrasi yang berhadapan dengan kita hari ini memiliki latar belakang sosiohistoris yang bercirikan Barat setelah Abad Pertengahan, tepatnya pada masa Aufklarung. Ada banyak gerakan dan peristiwa yang mencirikan demokrasi pada masa itu. Namun, yang paling terkenal dan disebut tonggak awal demokrasi modern adalah Deklarasi Kemerdekaan Amerika (Revolusi Amerika) oleh orang-orang Eropa di atas tanah orang Indian dan Revolusi Prancis yang mengalirkan amat banyak darah.

Revolusi Amerika melahirkan konstitusi yang mengakui hak-hak dasar individidu, sementara Revolusi Perancis melahirkan prinsip-prinsip demokrasi modern, seperti kesetaraan, kebebasan, dan kedaulatan rakyat. Akan tetapi, di Amerika, orang-orang kulit hitam kehilangan hak-haknya, bahkan hingga akhir abad ke-20. Adapun Prancis masih kebingungan memahami kesetaraan dan kebebasan hingga hari ini.

Di Eropa dahulu, demokrasi lahir dari semangat untuk mengurangi pengaruh penguasa feodal dan peran agama dalam kehidupan publik, terutama pasca-dominasi Gereja di Eropa. Oleh karena itu, sering kali demokrasi modern berjalan sebagai sistem yang menihilkan peran agama, dengan tidak menggunakan agama sebagai dasar aturan dan nilai dalam berdemokrasi.

Meskipun begitu, banyak umat beragama yang ikut serta dalam proses demokrasi, namun agama mereka jarang menjadi faktor penentu dalam keputusan-keputusan politik. Begitulah, kalau kita beribadah pada politik, sudah tentu di beberapa tempat, kita terpaksa menepikan Tuhan.

Catatan Tokoh Bangsa untuk Demokrasi

Ada banyak tokoh yang memberikan catatan mayor terhadap demokrasi. Hamka, ulama yang juga sastrawan, melihat demokrasi sebagai sistem yang melupakan esensi kejujuran dan ketulusan dalam berpolitik. Baginya, demokrasi yang berkembang hanyalah ring untuk berebut kekuasaan, sementara nilai-nilai moral jatuh berserakan ke luar ring. Ia mengingatkan bahwa politik yang menihilkan akhlak akan membuka ruang bagi orang-orang buruk untuk berkuasa.

Pak Kasman, pejuang kemerdekaan dan tokoh Masyumi juga mengkritik demokrasi dengan tajam. Ia memandang demokrasi harus diisi dengan nilai-nilai keislaman yang luhur, bukan sekadar prosedur formal. Demokrasi tanpa tuntunan etika agama hanya akan menjadi ajang perebutan kepentingan pribadi yang merugikan rakyat. Ia percaya bahwa demokrasi yang berorientasi pada kebebasan tanpa batas akan mudah disetir oleh mereka yang haus kekuasaan.

Satu hal lain yang ditekankan oleh Djarnawi Hadikusuma—tokoh Muhammadiyah—adalah bahwa demokrasi sering terjebak dalam konflik kepentingan, mengabaikan moralitas. Pandangannya, demokrasi sebaiknya tidak hanya fokus pada kebebasan, tetapi perlu melibatkan tanggung jawab berdasarkan nilai-nilai agama. Djarnawi menyorot betapa pentingnya integritas moral dalam politik yang sayangnya sering kali dilupakan dalam praktik demokrasi modern.

Problem Pemilu

Di antara isu krusial dalam demokrasi modern adalah prinsip one man one vote, yaitu setiap orang punya suara yang bernilai sama. Sekilas, prinsip ini tampak mewujudkan kesetaraan dan keadilan. Namun, jika ditelaah lebih dalam, prinsip ini justru problematik dan tidak selalu solutif.

Prinsip ini mengandaikan bahwa semua orang punya tingkat nalar, pemahaman, dan informasi yang sama dalam membuat keputusan. Nyatanya, setiap orang memiliki tingkatan yang berbeda dalam ketiga hal itu. Ketika setiap suara dihitung sama, kita tidak memperhitungkan kualitas dan pertimbangan pilihan tersebut. Misalnya, seorang guru besar yang paham banyak isu akan mempunyai pertimbangan memilih yang lebih baik daripada seorang yang mengikuti arus populisme di media sosial.

Prinsip ini juga sering kali diikuti fenomena black campaign yang digunakan untuk menjatuhkan lawan politik. Padahal, ini adalah bagian dari hal kontraproduktif yang dilahirkan sendiri oleh demokrasi. Black campaign menyebarkan informasi yang tidak benar, manipulatif, dan merusak moralitas politik. Kampanye ini tentu merusak integritas proses demokrasi dan menciptakan suasana politik yang penuh kebencian dan permusuhan.

Indonesia adalah contoh nyata dari praktik buruk demokrasi. Politik uang, manipulasi suara, korupsi yang merajalela, dan politik dinasti menjadi gambaran betapa demokrasi tanpa nilai kebajikan hanya akan dipergunakan sebagai sarana mencapai kekuasaan. Di negara-negara Barat, kita juga melihat bagaimana populisme ekstrem telah merusak persatuan masyarakat, menciptakan ketidakpercayaan terhadap lembaga-lembaga demokrasi, serta memicu kerusuhan sosial.

Rekonseptualisasi Demokrasi

Demokrasi yang kita praktikkan saat ini tampak tak lebih dari seni berselisih. Dalam praktiknya, setiap faksi tidak hanya menjadi oposisi bagi faksi lainnya, tetapi juga menjadi oposisi bagi kesadaran akan kebenaran dan moralitas. Akhirnya, dalam kontestasi politik, nilai-nilai ketulusan, kejujuran, dan keluhuran makin menjadi tabu. Akibatnya, politik kita akan selalu membuka ruang bagi orang-orang buruk dan meminggirkan orang-orang baik.

Bagaimana jika hal yang kita harapkan untuk memperbaiki sesuatu justru tambah merusak? Pepatah Arab menyebutkan,

بالملح نصلح ما نخشي تغيره

 فكيف بالملح ان حلت به الغير

“Dengan garam kita perbaiki apa yang kita khawatirkan akan berubah, lalu bagaimana jika garam tersebut terkena perubahan?”

Tentu sesuatu itu perlu diperbaiki lebih dahulu. Karena itu, demokrasi perlu direkonseptualisasi secara mendasar untuk mencerminkan nilai-nilai keadilan, moralitas, dan kebenaran. Jika tidak, demokrasi hanya akan berubah menjadi medan perang kepentingan-kepentingan yang merugikan rakyat dan menghancurkan tatanan sosial.

 

Penulis: Misbahul
Editor Substantif: Nauval Pally Taran
Editor Naskah: Teuku Zulman Sangga Buana

Tags : demokrasiindonesiakeadilanmoralopinipancasilapolitik

The author Redaksi Sahih