Penulis: Ibnu Abihi
Empat puluh delapan tahun yang lalu, Mochtar Lubis berdiri di Taman Ismail Marzuki dan membacakan pidato kebudayaan dengan judul ”Manusia Indonesia”. Pidato tersebut merangkum sifat Manusia Indonesia pada masa itu dalam kacamata Mochtar Lubis. Ia menyebut ada enam sifat utama Manusia Indonesia. Lima dari enam sifat tersebut memiliki konotasi negatif—hipokrit, feodal, enggan bertanggung jawab, percaya takhayul, dan kurang disiplin.
Kini, setelah hampir 5 dekade sejak pidato kebudayaan itu digaungkan, Indonesia telah mengalami transformasi besar. Pembangunan infrastruktur meroket, akses internet mencapai hingga ke pelosok-pelosok negeri, dan pendidikan makin menjangkau banyak tempat. Namun, agaknya tidak ada perubahan pada sifat-sifat Manusia Indonesia. Hal-hal negatif tersebut justru semakin mengakar, dipelihara oleh semua lapisan, mulai dari masyarakat awam, cendekiawan hingga agamawan. Modernisasi fisik dan kemajuan teknologi ternyata belum cukup untuk mengikis hal tersebut. Realita ini seolah menjadi peringatan bahwa perubahan material tidak selalu sejalan dengan perubahan karakter.
Sifat-sifat Manusia Indonesia di atas amat mudah ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Terpeliharanya Feodalisme dapat dilihat melalui lestarinya budaya “asal bapak senang”. Hipokrisi terlihat saat para petinggi menyerukan kesederhanaan, tetapi hidup dalam kemewahan. Sikap enggan bertanggung jawab tampak dalam kebiasaan saling lempar tanggung jawab tanpa memikirkan solusi. Banyak orang yang tak merasa bersalah ketika melanggar aturan, membuang sampah sembarangan, bahkan melakukan vandalisme pada fasilitas publik. Hal tersebut mencerminkan kurangnya tanggung jawab yang meluas di masyarakat.
Dalam kehidupan sosial, kepentingan pribadi sering kali mengalahkan kepentingan bersama. Media sosial menjadi cerminan lain dari sifat ini; di mana banyak orang berlomba-lomba memamerkan kehidupan pribadi demi pengakuan dan perhatian, tanpa memikirkan dampaknya pada orang lain atau masyarakat luas.
Kepercayaan pada takhayul dan praktik klenik juga masih merajalela di era modern, mencerminkan absurditas budaya yang bertahan meski dunia telah bergerak ke arah rasionalitas dan teknologi. Salah satu contohnya adalah penyertaan pawang hujan dalam acara-acara besar oleh pemangku kebijakan, seperti yang tersorot dunia saat perhelatan MotoGP Mandalika. Tidak hanya itu, perusahaan besar milik negara seperti Waskita Karya juga menggunakan jasa klenik untuk “melancarkan” proyek mereka, sebuah ironi di tengah gencarnya pembangunan infrastruktur yang seharusnya berdasar pada sains dan perencanaan matang.
Praktik perdukunan bahkan sering kali dieksploitasi untuk kepentingan politik, mulai dari ritual tertentu untuk “mengamankan” kekuasaan hingga penggunaan dukun sebagai “penasihat spiritual” para elite. Tidak hanya terbatas pada ranah duniawi, hal ini juga merambah ke tatanan agama. Kasus seperti kemunculan Mama Ghufran yang mendadak populer dengan klaim-klaim absurdnya, menunjukkan bahwa masyarakat mudah terjebak dalam ajaran pseudo-spiritual yang tidak memiliki dasar keilmuan atau akidah yang jelas. Ramainya pengikut fenomena semacam ini menjadi cermin kegagalan kolektif dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
Kurangnya disiplin adalah sifat lain yang terus bertahan dan bahkan telah menjadi bagian tak terpisahkan dari Budaya Indonesia. Fenomena jam karet, misalnya, tidak hanya terjadi dalam kehidupan sehari-hari, tetapi juga dalam institusi formal. Rapat yang selalu dimulai terlambat, keterlambatan proyek infrastruktur, hingga budaya santai yang sering kali mengorbankan produktivitas, adalah contoh nyata bagaimana kurangnya disiplin telah dilestarikan oleh berbagai lapisan masyarakat. Pada skala individu, banyak orang menganggap ketepatan waktu bukan sebagai keharusan, melainkan sebagai fleksibilitas yang dapat dinegosiasikan.
Mengapa sifat-sifat ini sulit berubah? Salah satu penyebab utamanya adalah sistem pendidikan yang lebih berorientasi pada nilai akademik daripada pembangunan karakter. Kurikulum yang menekankan angka dan prestasi formal sering kali mengabaikan pentingnya integritas, disiplin, dan tanggung jawab. Budaya feodal yang masih kuat dalam keluarga dan masyarakat juga turut memelihara mentalitas tunduk tanpa kritis.
Di era digital, media sosial memperparah keadaan dengan memperkuat sifat egois, menormalisasi pencitraan semu, dan mempercepat penyebaran hoaks yang sering kali dipercaya tanpa verifikasi. Kepercayaan pada takhayul dan klenik terus bertahan karena diwariskan lintas generasi tanpa ada upaya serius untuk meluruskannya melalui pendidikan atau literasi budaya.
Harapan mengubah karakter bangsa hari ini masihlah amat jauh dari target. Bangsa kita tampaknya lebih sibuk mengejar kemajuan material tanpa memperbaiki nilai-nilai fundamental. Masyarakat kita haruslah sadar, bahwa masa depan Indonesia tidak hanya bergantung pada infrastruktur yang megah atau teknologi yang canggih, tetapi juga pada manusia yang jujur, bertanggung jawab, dan disiplin.
Editor: Nauval Pally Taran