close
Sumber Foto: Detik

Penulis: Teuku Zulman Sangga Buana, S.H., Wakil Sekretaris Jenderal Bidang Kajian Strategis Ikatan Alumni Universitas Syiah Kuala Jakarta

Alinea ketiga pembukaan Nota Kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), lebih dikenal dengan MoU Helsinki, menggambarkan optimisme yang tinggi bahwa Aceh akan maju setelah perdamaian. Alinea itu berbunyi, “Para pihak sangat yakin bahwa hanya dengan penyelesaian damai atas konflik tersebut yang akan memungkinkan pembangunan kembali Aceh pasca Tsunami tanggal 26 Desember 2004 dapat mencapai kemajuan dan keberhasilan.”

Namun, dua dekade setelah kesepakatan itu ditandatangani di Finlandia, pembangunan Aceh masih jauh dari kata kemajuan yang berarti. Aceh harus menerima fakta sebagai provinsi termiskin di Sumatra dan mengalami keterpurukan ekonomi (Dewan Perwakilan Rakyat Aceh, Kajian MoU Helsinki dan UUPA dalam Aspek Implementasi (Empiris), 2019: ix).

Implementasi MoU Helsinki yang belum tercapai secara memuaskan ditengarai menjadi salah satu faktor utama belum terwujudnya kemajuan Aceh sebagaimana diyakini dalam alinea ketiga pembukaan Nota Kesepahaman itu. Kewenangan-kewenangan yang sifatnya krusial bagi kemajuan Aceh, seperti mengelola minyak dan gas bumi, memiliki akses langsung dan tanpa hambatan ke negara-negara asing, membangun pelabuhan laut dan bandar udara, serta mengatur perdagangan dan investasi belum terealisasi dengan baik atau bahkan belum terlaksana sama sekali.

Yang menjadi pertanyaan, bagaimana dengan komitmen Jakarta (pemerintah pusat) selaku salah satu pihak dalam perjanjian terhadap penuntasan MoU Helsinki? Sepuluh tahun terakhir, pemerintah pusat tidak menunjukkan hasrat yang setara dalam upaya memenuhi butir-butir kesepakatan. Malah, terkesan seperti seorang debitur yang harus sering ditagih agar mau membayar hutangnya.

Kepekaaan Pemerintah Pusat

Aceh harus membentuk tim-tim khusus seperti tim Pengkajian dan Pembinaan MoU Helsinki serta Implementasi Percepatan Perjanjian Damai di Aceh untuk mendesak Jakarta. Sebelumnya juga telah dibentuk Tim Kajian dan Advokasi Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki dan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) dengan tujuan yang sama.

Sementara itu, tidak ada tim khusus yang dibentuk oleh Jakarta untuk tujuan mengimplementasikan MoU Helsinki secara keseluruhan. Permintaan Wali Nanggroe Aceh, Malik Mahmud, agar Desk Aceh yang terdiri atas unsur Aceh dan unsur pemerintah pusat dihidupkan kembali pun hingga kini belum juga terpenuhi (acehprov.go.id, 20/1/2023).

Kekurangpekaan ini bukan tidak mungkin akan menyurutkan relasi antara Aceh dan Jakarta. Terlebih lagi, bagaimanapun, kita tidak boleh menutup mata terhadap eksistensi elemen-elemen masyarakat Aceh yang memilih untuk tidak menghendaki perdamaian. Sebut saja, Acheh Sumatra National Liberation Front (ASNLF) yang tergabung dalam Unrepresented Nations and Peoples Organization (UNPO). ASNLF kerap secara terang-terangan mengolok-ngolok kesepakatan damai dan terus mengampanyekan kemerdekaan Aceh di dunia digital dan kancah internasional.

Di samping itu, suara hati kolektif masyarakat Aceh pun sebenarnya tidak ada yang tahu persis, apakah memang sesungguhnya masyarakat Aceh menghendaki pemerintahan sendiri (self-government) ketimbang penentuan nasib sendiri (self-determination). MoU Helsinki bukan pemungutan suara publik sehingga tidak sepenuhnya mencerminkan kehendak rakyat Aceh pada saat itu dalam menyelesaikan konflik 30 tahun dan keberlanjutan hidup usai bencana dahsyat, gempa bumi dan tsunami.

Harapan Baru

Kini, Prabowo Subianto yang lekat dengan nilai-nilai kesatriaan—sebagaimana pernah digambarkan oleh kakeknya, Margono Djojohadikusumo, dalam Manusia Indonesia (Mochtar Lubis, 2013: 97)—mengomandoi pemerintah pusat yang baru. Masyarakat Aceh pun telah memutuskan Muzakkir Manaf, eks Panglima GAM, sebagai Gubernur Aceh dan Fadhlullah, Ketua DPD Partai Gerindra Aceh, sebagai Wakil Gubernur Aceh. Pemimpin Aceh yang baru ini sering disebut-sebut memiliki kedekatan khusus dengan pemerintah pusat—sebuah privilese yang masih jarang dimiliki oleh para elit Aceh.

Modal strategis ini memberikan harapan baru bagi pengimplementasian butir-butir MoU Helsinki secara kafah. Penulis membayangkan, andaikan rakyat Aceh sampai pada titik masa bodoh terhadap implementasi MoU Helsinki, secara kesatria Prabowo justru proaktif menjemput bola demi mengupayakan penuntasan semua butir perjanjian tersebut.

Dengan begitu, perdamaian di Aceh akan menjadi sebuah success story. Kisah itu barangkali juga akan menggerakkan Organisasi Papua Merdeka (OPM) untuk mempertimbangkan dengan serius opsi perdamaian sebab terlihat lebih masuk akal untuk mencapai kemajuan dan keberhasilan.

Tags : acehhukumindonesiapembangunanperdamaianpolitik

The author Redaksi Sahih