close
Feature

Masjid Cut Meutia: Rumah bagi Orang-Orang yang Berpuasa

Sumber Foto: Lip.Sahih

Langit senja menggantung rendah di atas Masjid Cut Meutia Banda Aceh ketika saya tiba satu jam menjelang berbuka. Udara bercampur aroma khas nasi bungkus yang ditata rapi untuk para jemaah, berpadu dengan suara merdu lantunan ayat suci Al-Qur’an yang mengalun dari berbagai sudut. Pelataran masjid di Jalan Ateuk Pahlawan ini telah dipenuhi oleh ratusan orang yang duduk rapi, sebagian membaca Al-Qur’an, sebagian lagi berbincang ringan sambil menunggu azan magrib berkumandang.

Di halaman masjid, suasana parkiran penuh sesak. Mobil-mobil berjajar rapi di tempat yang terbatas, sementara kendaraan roda dua juga berusaha memenuhi setiap celah yang tersisa. Sejumlah relawan berjibaku mengatur lalu lintas agar tetap tertib, membantu pengendara mencari tempat parkir yang masih tersedia. Sesekali terdengar suara klakson pelan dari kendaraan yang mencoba masuk, berpadu dengan riuh rendah suara orang-orang yang baru datang.

Setiap harinya, Masjid Cut Meutia menyediakan sekitar 400 porsi makanan berbuka. Namun, donasi dari para dermawan sering kali bertambah jumlahnya hingga 450-550 porsi. Salah satu donatur, Majelis Taklim Miftahul Hidayat dari Jakarta, telah selama tiga tahun berturut-turut bekerja sama dengan King Fried Chicken untuk menyumbangkan 1.500 porsi menu berbuka. Kepercayaan ini, menurut pengelola masjid, adalah bukti bahwa mereka mampu menjaga amanah dengan pelaporan yang transparan dan akuntabel.

Meski demikian, jumlah peserta yang hadir selalu lebih banyak, mencapai 500-600 orang, sehingga ada peserta yang hanya mendapatkan kue saja, tanpa nasi. Mereka datang dari berbagai lapisan masyarakat—tukang becak yang kelelahan setelah seharian berkeliling kota, pengemudi ojek online yang baru saja menyelesaikan pesanan terakhirnya, mahasiswa rantau yang mencari kehangatan suasana kampung halaman, hingga warga sekitar yang bukan jemaah tetap masjid ini.

“Kami ingin Masjid Cut Meutia menjadi rumah bagi siapa saja,” ujar Ustaz Muhammad Furqan, ketua penyelenggara buka puasa. “Ini adalah masjid yang inklusif. Kami menerima siapa pun yang ingin berbuka di sini.”

Di tengah kesibukan menata hidangan, para petugas tampak sigap membagikan nasi bungkus kepada jemaah. Dengan senyum ramah dan semangat yang tak surut, mereka memastikan setiap orang mendapatkan bagian. Wajah-wajah penuh keikhlasan terlihat jelas saat mereka mengulurkan makanan, memberikan kebahagiaan kecil di tengah kehangatan Ramadan.

Buka puasa bersama di masjid ini bukan sekadar tentang membagikan makanan, tetapi juga tentang menghadirkan kebersamaan. Saat azan berkumandang, suasana menjadi lebih syahdu. Hampir semua larut dalam doa sebelum menyantap hidangan berbuka.

Tak hanya untuk berbuka, Masjid Cut Meutia juga menyediakan santapan sahur di sepuluh malam terakhir Ramadan. Porsi yang disediakan berkisar antara 400 hingga 500, memastikan para jamaah yang menjalani i’tikaf tetap mendapatkan energi untuk menjalankan ibadah sepanjang malam.

Namun, Ramadan di Masjid Cut Meutia bukan hanya tentang makanan. Dalam sepuluh hari terakhir, masjid ini berubah menjadi pusat ibadah malam yang khusyuk. Program i’tikaf diikuti oleh banyak jamaah yang ingin mengisi detik-detik akhir Ramadan dengan ibadah yang lebih intensif. Qiamulail menjadi puncak spiritualitas di masjid ini, dipimpin oleh imam-imam hafiz terbaik dengan lantunan bacaan satu juz Al-Qur’an setiap malam. Salat dimulai pukul 2 dini hari, ketika sebagian besar kota masih terlelap dalam mimpi.

Selain berbuka dan sahur, masjid ini juga memiliki program sosial lain yang berjalan rutin. Setiap bulan, ada pembagian beras untuk warga sekitar, santunan bagi anak yatim, serta distribusi zakat mal kepada yang berhak. Semua ini terwujud dari infaq para jemaah, yang dengan konsisten mendukung kegiatan sosial masjid sebagai bagian dari kepedulian bersama.

Yuslan, bendahara masjid, mengungkapkan bahwa hingga akhir Ramadan, total dana yang dikeluarkan untuk berbuka puasa dan sahur mencapai sekitar Rp300 juta. Angka ini mencerminkan besarnya kepedulian masyarakat dalam menjaga tradisi berbagi di masjid ini.

Bagi Agni, salah satu peserta buka puasa di pelataran masjid, tempat ini lebih dari sekadar lokasi berbuka. “Bukan hanya Ramadan, saya juga sering berbuka puasa sunnah Senin-Kamis di sini. Ada rasa nyaman dan kehangatan yang sulit dijelaskan,” tutur Agni.

Di ruangan lain, tempat berbuka bagi jemaah perempuan, suasana kenyamanan dan syahdunya tidak kalah dari pelataran masjid. Kak Nurul salah satu peserta buka puasa di Masjid Cut Meutia mengungkapkan bahwa ia merasa nyaman dan menyenangkan. “Meskipun ada kurangnya, tapi tertutupi dengan kelebihannya,” ujarnya.

Ramadan bagi Masjid Cut Meutia bukan hanya tentang ritual ibadah, tetapi juga momentum berbagi dan mempererat hubungan antarumat. Di pelataran panjang tanpa sekat yang penuh hidangan berbuka, semua duduk sama rendah—tidak ada perbedaan strata, hanya kebersamaan yang menyatukan.

Pewarta: Misbahul
Editor: Ibnu Amirul

Tags : featureislammasjidmuslimpuasaramadan

The author Redaksi Sahih