Penulis: M. Haris Syahputra
Denting notifikasi game slot mulai familiar terdengar di warkop-warkop di Aceh; hampir di setiap waktu. Sesekali, ada yang bersorak menang. Lebih sering, umpatan kekalahan yang terdengar. Kini, judi online sudah menjadi bagian dari budaya baru dan rutinitas modern kebanyakan masyarakat kita.
Aceh sebagai provinsi yang menjalankan Syariat Islam secara resmi justru masuk dalam daftar lima besar provinsi dengan tingkat transaksi judi online tertinggi di Indonesia. Larangan ada, fatwa haram dikeluarkan, Razia pun dilakukan, tapi judol tetap tumbuh. Seperti akar ilalang, semakin ditekan, semakin kuat ia menjalar.
Surga Judi Online di Tanah Serambi
Berdasarkan laporan Tribunnews Aceh, provinsi ini menempati peringkat kelima secara nasional dalam hal akses ke situs judi online. Fenomena ini menciptakan ironi besar, mengingat Aceh menerapkan hukum syariat yang melarang keras perjudian.
Bagi sebuah otoritas yang menerapkan Syariat Islam angka itu tentu sebuah paradoks. Di satu sisi, qanun syariat melarang keras perjudian, bahkan dengan ancaman hukuman cambuk. Di sisi lain, judi online terus berkembang, sulit dilacak, dan menjangkiti begitu banyak kalangan di Aceh, baik awam maupun ‘terpelajar’.
“Kalau main di lapangan, ketahuan. Kalau di HP, siapa yang tahu?” ujar Asraf, seorang pedagang yang mengaku sudah berhenti main judi online.
Di Mana Ada Kemiskinan, Di Situ Ada Judi
Fenomena judol tak bisa dilepaskan dari rendahnya literasi finansial. Berdasarkan Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) yang dirilis Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tahun 2024, indeks literasi keuangan nasional hanya mencapai 65,43%.
Rendahnya pemahaman masyarakat terhadap pengelolaan keuangan membuat mereka rentan terjebak dalam skema yang menjanjikan keuntungan instan, termasuk judi online, yang semakin mudah diakses melalui perangkat digital.
“Orang yang main judol itu berharap rezeki nomplok dari jackpot, bukan dari kerja keras,” jelas Asraf.
Di samping minimnya literasi keuangan, judi kerap dipandang sebagai cara cepat untuk keluar dari kemiskinan dan memperoleh untung besar seketika. Padahal, yang terjadi justru memperparahnya.
“Kerja capek, gaji kecil. Kalau hoki, semalam bisa dapat jutaan,” tambahnya.
Sudah Kalah Tertimpa Candu
Judi online bekerja seperti narkoba bagi otak. Kemenangan kecil yang diberikan sesekali menciptakan efek dopamin, memicu sensasi euforia yang membuat pemain ingin terus bermain lagi.
“Setiap kali kalah, ada dorongan untuk balas dendam. Kalau menang, rasanya bakal bisa terus-terusan menang lagi,” kata Asraf, saat bercerita soal bagaimana ia pernah terjerat di dunia ini.
Efek psikologis ini diperparah oleh pola permainan yang mengondisikan pemain terus bermain. Sebuah studi dari University of Cambridge dalam jurnal Judgment and Decision Making menunjukkan bahwa efek near-miss, di mana pemain sering merasa hampir menang, dapat meningkatkan motivasi untuk terus bertaruh. Meskipun fenomena ini telah diamati dalam perjudian kasino, pola serupa juga ditemukan dalam mekanisme judi online.
Lebih jauh, Kecanduan judi melibatkan aspek psikologis yang kompleks. Seorang genius yang hilang kendali atas emosinya juga sangat mungkin mengalami kecanduan, yang selanjutnya irasional dalam melihat risiko.
Studi yang diterbitkan The Conversation mengungkapkan bahwa penjudi cenderung mengambil risiko lebih besar saat mengalami kekalahan atau melanjutkan taruhan karena pernah merasakan kemenangan sebelumnya.
Selain itu, mereka terus bertaruh dengan keyakinan bahwa peluang memenangkan jackpot meningkat setelah mengalami kekalahan berulang kali. Mereka percaya bahwa angka, warna, atau gambar yang mereka pilih pada akhirnya akan muncul karena belum pernah keluar sebelumnya.
Kenapa Judol Sulit Dibredel?
Judi online bukan sekadar masalah hukum, tapi juga ekonomi, teknologi, dan psikologi. Literasi keuangan yang rendah membuat masyarakat mudah tergoda janji kaya instan, sementara kemiskinan mendorong mereka mencari jalan pintas lewat taruhan.
Regulasi yang lemah membuat upaya pemberantasan menjadi formalitas belaka. Kementerian Kominfo mengeklaim telah memblokir lebih dari 800 ribu situs judi online sejak 2018, tapi situs judol, diblokir hari ini, besok muncul lagi dengan domain yang berbeda. Apalagi, banyak server beroperasi dari luar negeri, yang membuat Indonesia tak punya kuasa penuh untuk menutupnya.
Judi online terus berkembang bukan hanya karena lemahnya regulasi, tetapi juga karena teknologi yang mempermudah akses dan transaksi. VPN dan proxy memungkinkan pemain melewati pemblokiran, sementara aplikasi pesan terenkripsi jadi tempat transaksi yang bebas pengawasan. E-wallet mempermudah aliran dana, dan algoritma iklan di media sosial menargetkan calon pemain berdasarkan riwayat pencarian mereka.
Di sisi penegakan hukum, yang sering jadi korban justru pemain kecil. Sepanjang 2023, ratusan warga di berbagai daerah ditangkap karena judi online, tapi berapa banyak bandar besar yang benar-benar dihukum? Mereka yang punya jaringan besar tetap beroperasi dengan sistem yang sulit dilacak.
Memblokir situs judi saja tidaklah cukup. Pemerintah perlu mengatasi akar masalahnya, seperti kemiskinan, minimnya lapangan kerja, dan rendahnya literasi keuangan. Di samping itu, pemerintah juga perlu menyasar ekosistem pendukung dengan memutus aliran dana ke situs judi online, karena tanpa langkah ini, pemberantasan judi online hanya akan menjadi upaya setengah hati yang mudah disiasati.
Aceh perlu bergerak serius dan membuktikan bahwa syariat bukan hanya narasi di bibir maupun aturan di atas kertas saja. Karena jika tidak, kita hanya akan terus melihat ironi demi ironi: syariat dikhotbahkan di atas mimbar, tapi terus-menerus diabaikan di layar ponsel; melalui judol salah satunya.
Editor: Nauval Pally Taran