Penulis: Misbahul
Ada seorang habib yang konon mampu menurunkan rantai emas dari langit. Habib lainnya, setelah meninggal, masih terdengar melantunkan ayat-ayat suci dari dalam kuburnya, sebuah kejadian yang diklaim terbukti saat makamnya dibongkar. Ada pula kisah tentang habib yang cukup menyebut namanya saja sebagai jawaban pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir di alam kubur—seolah gelar dan garis keturunan bisa menggantikan hisab amal manusia.
Kisah-kisah seperti ini digaungkan di mimbar-mimbar ceramah, diperbanyak, dan dijadikan narasi utama seputar keistimewaan para habib. Dengan berlindung di balik konsep karomah, fenomena ini tidak hanya dianggap lumrah, tetapi juga seakan menjadi standar keulamaan. Seolah yang paling penting dari seorang ulama bukanlah keluasan ilmunya, keistikamahannya dalam beribadah, atau kebermanfaatannya bagi ummat, melainkan seberapa spektakuler kisah-kisah karomah yang melekat padanya.
Dalam Islam, karamah—kejadian luar biasa yang terjadi pada wali Allah—memang diakui. Hal-hal khariqul ‘adah (melampaui kebiasaan) bisa terjadi sebagai bukti kekuasaan Allah. Namun, Islam tidak pernah menjadikan karamah sebagai tolok ukur utama kemuliaan seseorang.
Para ulama besar dalam sejarah Islam lebih dikenal karena keilmuan dan perjuangannya, bukan karena keajaiban yang menyertai mereka. Bahkan imam-imam mazhab semisal Imam Syafi’i, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan imam Malik lebih banyak dikenang karena ilmu dan perjuangan mereka dalam membela agama. Karamah yang mungkin terjadi hanyalah efek samping dari ketakwaan, bukan sesuatu untuk dipamerkan secara mana suka atau diwariskan dalam bentuk narasi kehebatan trah.
Jika kita mengkaji fenomena ini dengan perspektif lain, flexing karamah bukan hanya sekadar ajang pengumbaran kepercayaan religius, melainkan ekspresi dari dorongan bawah sadar manusia terhadap kekuasaan, pengakuan, dan dominasi sosial.
Manusia pada dasarnya memiliki dorongan untuk diakui dan dikagumi. Keinginan ini mendorong sebagian orang atau kelompok untuk menampilkan diri sebagai sosok yang lebih istimewa dibandingkan orang biasa. Dalam dunia keagamaan, salah satu cara menunjukkan keistimewaan ini adalah dengan menampilkan kisah-kisah tentang karamah—kemampuan luar biasa yang dianggap sebagai tanda kedekatan dengan Tuhan.
Di sisi lain, masyarakat cenderung lebih mudah tunduk dan menghormati sosok yang dianggap memiliki hubungan khusus dengan yang Ilahi. Karena itu, cerita-cerita tentang karomah terus dikembangkan dan disebarluaskan. Semakin banyak orang percaya pada keistimewaan seseorang, semakin kuat pula pengaruh dan kedudukannya di tengah masyarakat.
Lama-kelamaan, anggapan ini menjadi bagian dari tradisi yang sulit dipertanyakan. Orang-orang menerima kisah-kisah tersebut sebagai kebenaran yang harus dihormati. Bahkan, mempertanyakan atau meragukan cerita itu dianggap sebagai sesuatu yang tidak sopan atau melawan ajaran agama.
Lebih jauh lagi, dorongan untuk mempertahankan pengaruh juga bisa dilihat dalam tradisi penghormatan terhadap keturunan orang-orang suci. Dengan menampilkan diri sebagai pewaris keistimewaan, mereka dapat terus menjaga posisi yang dihormati dalam masyarakat. Pada akhirnya, semua ini membentuk pola sosial yang terus bertahan dan diwariskan dari generasi ke generasi.
Bahkan ada juga dorongan psikologis manusia untuk memperoleh kontrol atas orang lain. Dalam konteks glorifikasi trah habib, ini bisa dipahami sebagai strategi untuk mempertahankan dominasi sosial.
Dengan menempatkan diri sebagai keturunan Nabi yang memiliki privilese spiritual, kelompok ini tidak hanya memperoleh pengakuan, tetapi juga posisi sosial yang sulit digugat. Masyarakat yang mempercayai kisah-kisah tersebut akan lebih mudah tunduk dan menganggap kritik terhadap kelompok ini sebagai tindakan yang tercela.
Menariknya, fenomena flexing karamah ini lebih dominan di kalangan habib, sementara di luar kelompok ini, kisah-kisah serupa nyaris jarang terdengar. Seolah-olah, karamah telah menjadi alat untuk memperkuat otoritas dan membangun citra eksklusif bagi kelompok tertentu. Yang lebih mengherankan, kritik terhadap glorifikasi ini sering kali dibungkam dengan tuduhan merendahkan keturunan Rasulullah, seakan mempertanyakan keabsahan cerita sama saja dengan melecehkan nasab mereka.
Demi Menjaga Dominasi
Dalam sejarah, konsep kesakralan garis keturunan sering kali digunakan untuk mempertahankan sistem hierarki sosial. Di banyak peradaban, klaim sebagai “keturunan suci” menjadi legitimasi untuk mendapatkan hak istimewa. Di Eropa, raja-raja mengklaim “divine right” (hak ilahi) untuk berkuasa. Di Jepang, kaisar dianggap sebagai keturunan dewa matahari.
Dalam dunia Islam, konsep ini muncul dalam bentuk glorifikasi keturunan Nabi, yang di beberapa wilayah dikembangkan menjadi struktur sosial tersendiri. Habib dan sayid ditempatkan dalam posisi istimewa, bukan karena kapasitas intelektual atau moralitasnya, tetapi karena garis darah yang mereka bawa.
Persoalannya bukan pada penghormatan terhadap keturunan Nabi, tetapi bagaimana penghormatan ini kemudian berkembang menjadi glorifikasi yang tidak lagi rasional. Dari sekadar penghormatan berubah menjadi kultus keturunan, di mana kritik dianggap sebagai penghinaan, dan keistimewaan diwariskan tanpa syarat moralitas atau keilmuan.
Editor: Nauval Pally Taran