close
Opini

Trauma di Balik Toga: Maraknya Pelecehan Seksual di Perguruan Tinggi

Sumber Foto: DetikNews

Penulis: Misbahul

Seorang guru besar dari salah satu kampus ternama di Indonesia dicopot dari jabatannya. Bukan karena kesalahan akademik, bukan pula karena penyalahgunaan wewenang administratif. Ia dipecat karena melakukan pelecehan seksual terhadap mahasiswi. Bila saja kasus itu tak terungkap, ia mungkin masih duduk nyaman di kursi empuknya, memberikan kuliah dengan tampang bermoral, sementara para korbannya terus memikul trauma, berjalan di koridor kampus dengan ketakutan, dan menghindari ruang dosen seperti menghindari jebakan.

Dan itu bukan satu-satunya kasus. Hal serupa terjadi di banyak kampus. Bahkan kampus keagamaan pun tidak steril dari kasus semacam ini. Pelecehan terhadap mahasiswi terjadi hampir rutin—kadang secara verbal, kadang fisik. Hanya saja, korban-korbannya terlalu takut untuk bicara. Mereka takut pada label, pada nilai akademik, pada citra keluarga, dan terlebih pada sikap kampus yang sering kali lebih melindungi nama baik institusi ketimbang menyelamatkan masa depan mahasiswinya.

Yang Terlihat dan yang Tersembunyi

Pelecehan seksual oleh dosen kepada mahasiswi adalah fenomena gunung es. Hanya sedikit kasus yang muncul ke permukaan; yang tertimbun jauh lebih banyak. Di banyak kampus, dosen-dosen yang melakukan pelecehan masih berkeliaran. Mereka tetap mengajar, memberi nilai, membimbing skripsi—bahkan mungkin memberikan ceramah tentang etika dan moral. Mereka dilindungi oleh sistem yang longgar, oleh budaya diam, dan oleh mekanisme kampus yang sering kali tidak berpihak pada korban.

Di Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, kasus pelecehan seksual berulang terjadi. Pada September 2024, seorang mahasiswi tingkat akhir dari Fakultas Ilmu Budaya melaporkan dosennya atas dugaan pelecehan seksual saat konsultasi skripsi. Ini bukan kejadian tunggal. Sebelumnya, pada Juni 2024, kasus serupa juga mencuat dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Tim Satgas PPKS Unhas kemudian mengambil langkah dengan mencopot jabatan pelaku dan memberikan skorsing selama dua semester. Namun, belum ada pemecatan tetap karena masih menunggu proses administratif di kementerian terkait.

Kejadian memilukan juga terjadi di Universitas Negeri Makassar (UNM). Berdasarkan rilis pers LBH Makassar, seorang mahasiswi semester II dipanggil ke rumah dosennya pada Mei 2024 untuk mengikuti ujian lisan. Namun, sebelum ujian berlangsung, korban diminta memijat dosen yang merupakan pembimbing akademiknya. Pelecehan seksual kemudian terjadi di ruangan itu. Korban akhirnya melaporkan kejadian tersebut ke SPKT Polda Sulawesi Selatan pada 28 Januari 2025. LBH Makassar menyatakan bahwa kasus ini bukan yang pertama. Sayangnya, pihak kampus cenderung tidak transparan dalam proses hukum internal.

Universitas Gadjah Mada (UGM), kampus yang kerap disebut sebagai kiblat akademik Indonesia, juga tidak lepas dari noda ini. Baru-baru ini seorang guru besar dari Fakultas Farmasi dicopot dari jabatannya setelah dilaporkan melakukan kekerasan seksual terhadap mahasiswi. Status kepegawaiannya sebagai ASN pun kini terancam. Namun, lagi-lagi, kasus ini baru ditangani setelah diketahui banyak orang.

Budaya Diam dan Proteksi Institusional

Banyak kampus di Indonesia lebih takut kehilangan reputasi daripada kehilangan integritas. Saat sebuah kasus muncul, bukan pelaku yang pertama kali dihadapi, tetapi korban. Korban sering kali diminta menyelesaikan secara damai, “Jangan dibesar-besarkan”, atau yang paling menyakitkan; “Masa dosen sebaik itu bisa begitu?” Institusi cenderung melindungi pelaku jika ia punya jabatan, punya relasi kuat, atau berstatus guru besar. Proses hukum sering kali mandek di tengah jalan, atau berakhir di ruang mediasi yang lebih cocok untuk sengketa utang piutang ketimbang kekerasan seksual.

Kita hidup dalam lingkungan akademik yang masih sarat relasi kuasa. Dosen punya kontrol atas nilai, rekomendasi, bahkan masa depan akademik mahasiswinya. Dalam situasi seperti itu, pelecehan bisa terjadi kapan saja—di ruang bimbingan, di chat pribadi, bahkan di ruang publik. Sayangnya, karena korban tahu betul bahwa sistem tak berpihak padanya, banyak yang memilih diam. Diam bukan karena tidak ingin bersuara, tetapi karena sadar bahwa suaranya akan dipadamkan.

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi sejatinya menjadi tonggak penting. Namun, implementasinya masih jauh panggang dari api. Banyak kampus belum membentuk Satgas PPKS, atau jika sudah, posisinya masih lemah dan tidak independen. Beberapa anggota Satgas justru berasal dari struktural kampus yang punya konflik kepentingan.

Ketiadaan mekanisme perlindungan yang aman dan berpihak pada korban membuat proses pelaporan menjadi menakutkan. Alih-alih mendapatkan keadilan, korban malah mengalami trauma kedua: diadili oleh birokrasi kampus, dilabeli oleh teman-teman, atau bahkan disarankan mengambil cuti kuliah demi “ketenangan bersama”.

Dari Sorotan ke Solusi

Kasus-kasus ini sebenarnya memberi kita cermin yang tajam: bahwa kampus bukan lagi ruang aman bagi semua orang. Jika tempat yang seharusnya mendidik justru menjadi ladang kekuasaan yang menyakiti, maka sistemnya perlu diperiksa secara menyeluruh. Perlu keberanian institusi untuk tak hanya membentuk Satgas formalitas, tetapi benar-benar membuat sistem pelaporan yang independen dan berpihak pada korban.

Kampus juga perlu memutus mata rantai impunitas dengan memberikan sanksi yang tegas dan terbuka kepada pelaku. Dosen yang melakukan kekerasan seksual tidak layak mengajar. Mereka tidak layak memberi kuliah tentang moral, agama, atau etika. Mereka bukan hanya mencederai individu, tapi juga merusak seluruh fondasi pendidikan.

Lebih dari itu, masyarakat juga perlu berubah. Kita harus berhenti menyalahkan korban. Sebaliknya, kita harus belajar mendengarkan mereka, mempercayai mereka, dan mendampingi mereka.

Trauma di Balik Toga

Apa masalahnya trauma sedikit mahasiswi di balik toga wisuda daripada nama baik kampus yang harus ternista? Kalimat itu barangkali terdengar sinis, tapi begitulah cara berpikir sebagian elit kampus dalam menanggapi kekerasan seksual.

Hari ini, mungkin hanya satu dua kasus yang mencuat. Namun, di balik itu, ada banyak mahasiswi yang menyimpan cerita mereka sendiri, yang belum bersuara. Tulisan ini ditujukan untuk mereka—untuk para korban yang masih diam, yang sedang berjuang, dan yang telah kehilangan rasa aman di tempat yang seharusnya menjadi rumah ilmu.


Editor:
Nauval Pally Taran

Tags : etikahukumilmu pengetahuanindonesiajogjakampuskekerasankemanusiaanmoralpelecehan seksualpendidikanperadabanperempuanugmuniversitas

The author Redaksi Sahih