close
BisnisRagam

Transformasi Keuangan Digital Terus Berlangsung, Akankah Meruntuhkan Sistem Perbankan?

Sumber Foto Ilustrasi: Pixabay

Penulis: M. Haris

Tak ada suara sirine ketika mereka runtuh. Tak ada gempa, tak ada ledakan. Tapi perlahan, institusi ekonomi paling purba (bank) mulai “roboh”. Bukan oleh krisis, bukan oleh perampokan, tapi oleh algoritma dic;ngin yang tak butuh istirahat.

Sebuah revolusi senyap sedang menyapu sistem keuangan lama. Buku tabungan berubah jadi artefak, teller digeser chatbot, dan kantor cabang menyusut menjadi baris kode. Dunia telah membalik halaman, dan sistem lama akan kehilangan tempat di bab-bab berikutnya.

Hari ini, nyaris semua transaksi berlangsung tanpa sentuhan uang fisik. Kita membayar kopi dengan QRIS, membayar tagihan lewat DANA atau OVO, mentransfer uang dalam hitungan detik melalui Gopay atau ShopeePay. Ponsel telah menggantikan dompet. ATM mulai kehilangan antrean. Dalam beberapa dekade ke depan, generasi baru mungkin tumbuh tanpa pernah tahu aroma uang kertas baru dan antrean.

Di kota-kota besar, bahkan tukang parkir dan pedagang kaki lima sudah menempelkan stiker kode QR di gerobaknya. Tak ada lagi kembalian receh. Di belahan lain, mulai muncul koperasi digital yang menghubungkan petani dengan pembeli lewat platform langsung, gaji dibayarkan lewat e-wallet, zakat dan sedekah dikumpulkan lewat tautan pendek. Dunia finansial telah berubah.

Rapuhnya Kepercayaan

Di balik layar, dunia baru sedang dibangun dengan fondasi transparansi dan kecepatan. Teknologi blockchain, bersama kontrak pintar (smart contract) dan sistem keuangan terdesentralisasi, tak hanya mengubah cara manusia menyimpan uang—tapi mendefinisikan ulang apa itu uang, siapa yang mengendalikannya, dan di mana batas-batasnya.

Pekerja migran pun mulai meninggalkan layanan remitansi konvensional yang memotong biaya 6–10% per transfer. Lewat blockchain (exchange), mereka bisa mengirim uang lintas negara dalam hitungan detik dengan biaya kurang dari satu dolar. Revolusi finansial ini sudah berlangsung, dan sudah mulai diadopsi masal.

Revolusi Tanpa Gedung

Prediksi di mana bank konvensional tak lagi relevan cukup masuk akal dalam beberapa dasawarsa lagi. Fungsi dasar perbankan, yaitu meminjamkan, menyimpan, dan menyalurkan uang, akan digantikan sepenuhnya oleh DeFi (Decentralized Finance) dan smart contracts: tanpa perantara, tanpa dokumen fisik, dan tanpa intervensi manusia.

Teknologi blockchain memungkinkan sistem keuangan yang tidak berbasis pada institusi, tetapi pada protokol yang berjalan otomatis. Transaksi menjadi instan dan lintas batas. Bitcoin dan mata uang digital (USDT/USDC) bukan hanya alat tukar, tapi fondasi dari sistem finansial global tanpa batas, tidak ada otoritas Tunggal, tidak ada kontrol sentral.

Bank Digital yang Tak Butuh Manusia

Jika dahulu bank dinilai dari jumlah cabang dan layanan nasabah, maka masa depan menilai dari kode dan kontrak pintar. Sistem akan berjalan mandiri, didukung oleh algoritma dan logika terprogram. Pengguna hanya butuh dompet digital dan koneksi internet untuk mengakses seluruh layanan keuangan.

Dampaknya luar biasa. Bank tidak lagi menjadi pengelola kekayaan, tetapi hanya penonton. Bahkan manajer investasi manusia pun akan tergusur. Dalam sebuah unggahannya, Timothy Ronald menyebut, 99% volume perdagangan dunia akan dikelola oleh AI. Tak ada lagi keputusan emosional, tak ada analisis subjektif, semuanya dihitung, dioptimasi, dan dieksekusi dalam waktu nyata oleh asisten virtual.

CBDC dan Kedaulatan Digital

Transformasi tak hanya datang dari sektor swasta. Bank sentral di berbagai negara kini berlomba membangun Central Bank Digital Currency (CBDC)—versi digital dari mata uang resmi. Indonesia pun sedang menyiapkan Rupiah Digital sebagai bagian dari blueprint sistem pembayaran masa depan melalui proyek Garuda.

CBDC menawarkan efisiensi dan transparansi sistem kripto, tetapi dengan kontrol dari otoritas negara. Dalam beberapa tahun ke depan, membayar pajak, menerima gaji, atau bantuan sosial lewat dompet digital berisi Rupiah Digital bisa menjadi hal yang lumrah.

Semua perubahan ini menyiratkan satu hal: bank konvensional akan kehilangan relevansinya. Tak hanya karena kalah cepat, tapi karena tertinggal secara filosofis. Mereka dibangun atas dasar kepercayaan terpusat, di era ketika manusia mulai tertarik menggenggam kendali penuh. Era baru, menuntut transparansi, otomatisasi, dan kecepatan yang hanya bisa dijawab oleh sistem desentral.

Blockchain bukan hanya menciptakan cara baru bertransaksi. Ia juga menciptakan cara baru memaknai uang dan kendali. Dalam arsitektur yang tak mengenal batas geografis, tanpa izin otoritas pusat, dan dapat diaudit oleh semua orang, keuangan menjadi lebih dari sekadar alat tukar. Ia menjadi bahasa kepercayaan kolektif.

Namun, apakah perubahan ini benar-benar inklusif? Di sudut-sudut wilayah tanpa sinyal stabil, masyarakat masih bergantung pada uang tunai. Lansia tanpa ponsel pintar perlahan terpinggirkan dari sistem baru yang serba digital. Transisi ini menyimpan risiko, sebuah jurang yang bisa melebar jika tak diantisipasi.

Di saat yang sama, kehadiran CBDC memperjelas arah masa depan, yaitu efisiensi yang dipadu dengan kontrol negara. Jika uang digital kelak jadi satu-satunya medium, maka setiap transaksi bukan hanya soal pembayaran, tetapi juga soal pelacakan, persetujuan, bahkan potensi pembatasan.

Dunia tanpa uang tunai diprediksikan akan segera hadir. Namun, ketika semua transaksi bisa diawasi dan dikendalikan, pertanyaannya bukan lagi sekadar soal efisiensi, tapi siapa yang masih benar-benar merdeka di dalam sistem ini?

Editor: Nauval Pally Taran

Tags : AIbankBank Indonesiabisnisbitcoinblockchaincryptodigitalekonomiglobalkeuangankriptokrisis keuanganmasyarakatsorotanteknologiuang

The author Redaksi Sahih