Penulis: Misbah S.
Caturwulan pertama tahun 2025 belum lagi genap, tetapi deretan kasus pelecehan dan kekerasan seksual telah menghiasi halaman-halaman berita, nyaris tanpa jeda. Pelakunya bukan hanya dari satu golongan, melainkan lintas usia, lintas profesi, dan lintas status sosial.
Ada anak-anak yang menjadi pelaku, remaja yang kecanduan, orang dewasa yang predator, bahkan lansia yang tak bisa menahan syahwatnya. Dari orang biasa hingga tokoh masyarakat, dari keluarga sendiri hingga orang asing, dari mereka yang tak tamat sekolah hingga pemegang gelar akademik, dari yang seharusnya menegakkan hukum hingga mereka yang akhirnya harus dijatuhi hukuman.
Kekerasan seksual hari ini bukan lagi fenomena tersembunyi—ia menjelma menjadi luka terbuka yang terus dibiarkan menganga, tanpa obat, tanpa empati, dan nyaris tanpa keadilan. Fakta-fakta terbaru menunjukkan bahwa Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Kita hidup dalam situasi darurat. Darurat karena kasusnya melonjak. Darurat karena sistem hukumnya lemah. Darurat karena budaya bungkam dan sikap permisif yang menjangkiti masyarakat.
Dilansir dari laman resmi Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) Bareskrim Polri, pada pekan pertama Januari 2025, terdapat 37 laporan kasus kekerasan dan pelecehan seksual yang diterima. Angka ini mengindikasikan bahwa rata-rata lebih dari lima kasus terjadi setiap hari dalam periode tersebut. Situasi ini menegaskan bahwa Indonesia menghadapi kondisi darurat terkait kekerasan seksual. Diperlukan langkah-langkah konkret dan sistemik untuk menangani permasalahan ini, termasuk penegakan hukum yang tegas, edukasi masyarakat, serta pemberdayaan korban agar berani melapor dan mendapatkan perlindungan yang layak.
Data terbaru menunjukkan bahwa Indonesia menghadapi situasi darurat terkait kekerasan seksual dan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Berikut adalah beberapa fakta yang menggambarkan kondisi tersebut:
- Peningkatan Kasus di Jakarta: Dinas Pemberdayaan, Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk (PPAPP) DKI Jakarta mencatat sebanyak 356 korban kekerasan terhadap anak dan perempuan sejak awal 2025 hingga 26 Februari 2025.
- Data Nasional: Sistem Informasi Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) mencatat 4.882 kasus kekerasan dari Januari hingga 12 Maret 2025, dengan 4.196 korban perempuan.
- Survei Nasional: Sekitar 11,5 juta anak usia 13-17 tahun pernah mengalami kekerasan emosional atau seksual. Selain itu, 24,1% perempuan usia 15-64 tahun pernah menjadi korban kekerasan fisik dan/atau seksual.
Indonesia Darurat Pelecehan Seksual
Komnas Perempuan secara tegas menyatakan bahwa Indonesia berada dalam kondisi darurat kekerasan seksual. Komisioner Komnas Perempuan, Veryanto Sitohang, menyoroti kasus percabulan terhadap anak yang diduga dilakukan oleh eks Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widyadharma Lukman, sebagai pukulan keras bagi institusi kepolisian. Seharusnya, pelaku adalah pihak yang memberikan perlindungan kepada korban, tapi justru menjadi pelaku kekerasan seksual. Apalagi, kasus percabulan tersebut direkam pakai video dan diedarkan di industri pornografi. Veryanto menekankan bahwa ini merupakan kejahatan luar biasa dan merekomendasikan agar kepolisian menangani kasus ini secara profesional serta memberikan hukuman maksimal kepada pelaku, sehingga mampu memberikan efek jera dan menjadi pembelajaran di internal institusi aparat penegak hukum.
Ketua DPR RI, Puan Maharani, menyoroti kasus kekerasan seksual yang melibatkan mantan Kapolres Ngada sebagai fenomena gunung es yang mencerminkan masih maraknya kejahatan seksual di Indonesia. Ia menekankan pentingnya penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku serta pemenuhan hak-hak korban, termasuk pendampingan psikososial untuk mendukung proses pemulihan mereka.
Namun masalahnya tak berhenti pada pelaku yang “biasa-biasa” saja. Mereka yang seharusnya menjadi suluh di tengah gelap, malah menjadi bagian tergelap dari kegelapan itu sendiri. Para agamawan, pendidik, bahkan orang tua yang semestinya menjadi pelindung justru sering tampil sebagai bagian dari lingkar kekerasan. Guru dan dosen, yang konon memegang mandat membentuk akhlak dan intelektualitas generasi muda, kadang justru menggunakan kuasa dan kedekatan emosional untuk menciptakan ruang intimidasi dan pelecehan. Orang tua—yang seharusnya menjadi tempat paling aman bagi seorang anak—kadang menjelma menjadi predator paling berbahaya dalam sunyi rumah sendiri.
Sorotan publik terbaru memperkuat urgensi darurat ini. Guru besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Edy Meiyanto, dipecat karena terbukti melakukan kekerasan seksual terhadap sejumlah mahasiswi dengan modus bimbingan akademik antara 2023–2024. Tempat kejadian bukan di ruang publik, tapi di rumah pribadinya. Meski telah diberhentikan dari jabatan dosen, statusnya sebagai ASN dan guru besar masih dalam proses evaluasi kementerian.
Tak kalah mencengangkan, seorang dokter peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesiologi Universitas Padjadjaran (Unpad), Priguna Anugrah Pratama, diproses hukum karena memperkosa keluarga pasien yang sedang dirawat di RSUP Hasan Sadikin, Bandung. Pelaku membius korban sebelum melancarkan aksinya. Polda Jawa Barat menyebut ada indikasi kelainan perilaku seksual pada pelaku. Unpad merespons dengan cepat: mencabut izin praktik dan memberhentikan pelaku dari program spesialis.
Lebih menyedihkan, korban sering kali harus membuktikan bahwa ia tidak mengada-ada. Dalam ruang pengadilan, mereka diuji lebih keras daripada pelaku. Dalam keluarga sendiri, mereka dibungkam dengan alasan malu. Kita hidup dalam budaya yang lebih percaya pada kehormatan pelaku daripada luka korban. Ketika institusi pendidikan dan lembaga-lembaga terkait lebih sibuk menyelamatkan reputasi ketimbang memberi ruang aman untuk korban, di situlah kita tahu: kerusakan ini sudah sistemik.
Indonesia tidak hanya darurat dalam hal angka, tetapi juga darurat dalam respons. Tidak cukup hanya dengan membentuk tim investigasi atau membuat poster kampanye. Kita membutuhkan revolusi budaya yang melibatkan pendidikan tentang hubungan yang sehat dan persetujuan (consent) di semua level pendidikan, dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Sistem hukum yang berpihak kepada korban juga harus diperkuat dengan mempercepat proses hukum, memberikan hukuman yang lebih tegas kepada pelaku, serta memastikan perlindungan bagi korban selama dan setelah proses hukum berlangsung.
Selain itu, pemberdayaan korban juga harus menjadi fokus utama. Membuka lebih banyak ruang aman bagi korban untuk melapor, baik melalui layanan konseling atau hotline kekerasan seksual, sangatlah penting. Masyarakat juga perlu didorong untuk lebih peduli terhadap situasi di sekitar mereka, dengan menghapus stigma yang menghalangi korban untuk bersuara.
Jika kita tidak segera mengambil tindakan nyata, luka ini akan terus membusuk dan generasi kita akan tumbuh dalam ketakutan, kehilangan kepercayaan pada otoritas, dan merasa sendirian dalam penderitaan mereka.
Kekerasan seksual bukan aib korban. Aibnya ada pada sistem yang membiarkannya terjadi.
Editor: Nauval Pally Taran